STUDI AL-QUR’AN DAN HADIST ERA KLASIK (PENGARUH INTERNAL DAN EKSTERNAL)

Oleh: M. Iqbal Notoatmojo
 iqbalbwox@gmail.com
Mahasiswa Pascasarjana STAIN Kudus,
Program Studi Ekonomi Syariah

Abstrac
“The existence of the Daulah-Daulah in the history of Islamic civilization following the growth law (the law of growth) is pioneering, building, enjoying development, backward and ultimately destroyed. Because the growth law is the law of nature and natural law is "the laws", So how traffic conditions in the history of Islam, especially in the study of the Qur'an and Hadist classical era.
  Looking at the history of Islamic civilization in the classical era aims to determine the factors that influence the progress and decline of Islam, as well as to lift the facts and events that occurred during the Prophet Muhammad, companions and tabi'in and the next period. Discussion of long history and extensive Islam can not be separated from the discussion of political history, because the politics are very influential on the development of science and thought”.

Password: Perkembangan, Qur’an-Hadis, Era Klasik

A.  LATAR BELAKANG
Pada waktu Rasulallah masih hidup, dalam segala hal atau persoalan umat maka beliau menjadi tempat bertanya bagi para sahabatnya. Terkadang pertanyaan itu dijawab melalui turunnya wahyu yaitu al-Quran dan terkadang beliau sendiri yang memberikan jawaban (Hadis). Akan tetapi setelah beliau wafat maka terjadilah berbagai friksi atau konfik dikalangan umat Islam sampai sekarang, baik itu internal maupun eksternal.
Membicarakan sejarah pertumbuhan dan perkembangan al-Qur’an dan Hadis bertujuan untuk mengangkat fakta dan peristiwa (peradaban dan kebudayaan) yang terjadi pada masa Rasulullah SAW, kemudian secara periodik pada masa-masa sahabat dan tabiin serta masa-masa berikutnya. Pembahasan sejarah Islam yang panjang dan luas tidak bisa dilepaskan dari pembahasan sejarah politiknya, dan juga aspek lain yang ada didalamnya seperti sistem pemerintahan, ekonomi, ilmu pengetahuan, pendidikan dan seni bangunan (Yatim, 2004:6).
Oleh karena itu, untuk memperoleh gambaran tentang peradaban dan kebudayaan Islam yang pernah mengalami kejayaan dan kemunduran tersebut, maka tujuan penulisan ini tidak lain adalah ingin melihat faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kemajuan dan kemunduran Islam di era klasik. Tujuannya tidak lain adalah membangkitkan motivasi dan semangat serta menyadarkan kita untuk memperbaiki keadaan umat Islam yang  sampai hari ini dalam kategori mengalami kemunduran dalam segala bidang. Untuk itulah Fokus kajian kita arahkan untuk menggali informasi tentang studi al-Quran-Hadis yang terjadi pada era klasik serta menelusuri jejak-jejak sejarah peradaban Islam di tinjau dari aspek pengaruh internal dan eksternal.

B.  SEJARAH QUR’AN-HADIS DALAM PERADABAN ISLAM PADA ERA KLASIK
Kebudayaan dalam bahasa Arab disebut tsaqafah, dalam bahasa Inggrisnya culture. Sedangkan peradaban Islam adalah terjemahan dari kata Arab al-hadharahal-Islamiyah dan dalam bahasa Inggris civilization. Dalam perkembangan ilmu antropologi sekarang, kedua istilah itu dibedakan. Kebudayaan adalah bentuk ungkapan tentang semangat mendalam suatu masyarakat, sedangkan manifestasi-manifestasi kemajuan mekanis dan teknologis lebih berkaitan dengan peradaban. Kalau kebudayaan lebih banyak direfleksikan dalam bentuk seni, sastra, agama dan moral. Sedangkan peradaban terefleksi dalam politik, ekonomi dan teknologi (Yatim, 2004:1).
Dalam pengertian ini peradaban yang dimaksud adalah Islam yang diwahyukan kepada Rasulallah Saw, yang telah membawa bangsa Arab yang semula terbelakang, bodoh, tidak terkenal dan diabaikan bangsa-bangsa lain, menjadi lebih maju. Bahkan, kemajuan Barat pada mulanya bersumber dari peradaban Islam yang masuk ke Eropa melalui Spayol (Yatim, 2004:2).
Periode sejarah kebudayaan Islam memiliki ciri khas, Harun Nasution (1985:56) Periode Klasik (650-1250 M). Periode klasik dibagi menjadi dua masa, masa kemajuan Islam I (650-1000 M) dan masa Disintegrasi (1000-1250 M). Masa kemajuan Islam I merupakan masa ekspansi, integrasi dan keemasan kebudayaan Islam. Masa disintegrasi adalah masa yang sudah mulai menurun dalam bidang politik, sain, ekonomi dan pengetahuan.
1.         Masa Kemajuan Islam I (650-1000 M)
a.         Masa Rasulallah
Ketika Rasulallah Saw lahir Makkah adalah kota yang sangat penting dan maju diantara kota-kota di negeri Arab, ini karena dilalui jalur perdagangan dan adanya Ka’bah menjadi pusat keagamaan sehingga menjadi pusat peradaban. Akan tetapi dalam hal agama meraka masih berpegang pada agama asli mereka yaitu percaya kepada banyak dewa dalam bentuk berhala dan patung. Sehingga proses dakwah Nabi di Makkah banyak ditentang oleh kaum Quraisy.
Perkembangan Islam di Makkah sebelum hijrah adalah fase penanaman aqidah (bertauhid) yang murni (pure monoteisme), juga tentang pembinaan mental dan akhlak bagi umat Muslim ini dapat dilihat dari ayat-ayat al-Quran Makkiyyah. Sedangkan di Madinah sesudah hijrahnya Nabi, dengan semakin perkembangnya pengikut Islam dari luar Arab. Maka fase ini adalah penanaman norma-norma hukum untuk pembentukan dan pembinaan masyarakat Islam dan negara yang adil dan makmur (Zuhdi, 1997:12-13)
Dari perjalanan sejarah, dapat disimpulkan bahwa Nabi Muhammad Saw. Disamping sebagai pemimpin agama , juga seorang negarawan, pemimpin politik dan administrasi yang cakap (Yatim, 2004:33). Kedudukan Muhammad sebagai Nabi dibuktikan sebagai seorang yang mendapat wahyu dari Allah. Adapun fungsi Nabi sebagai pimpinan politik didasarkan pada realita bahwa Nabi pernah mendirikan suatu tatanan pemerintahan di Madinah yang didalamnya terdapat unsur-unsur kekuasaan politik, berupa konstitusi Piagam Madinah yang mengikat seluruh unsur anggota masyarakat (Najib, 2001:87)
b.        Masa Khilafah Rasyidah
Nabi Muhammad Saw tidak meninggalkan wasiat tentang siapa penggantinya, akan tetapi dengan semangat ukhuwah-islamiyah yang tinggi terpilihlah Abu Bakar. Tugasnya yang hanya dua tahun digunakan untuk menyelesaikan persoalan dalam Negeri terutama tantangan yang ditimbulkan oleh suku-suku bangsa Arab yang tidak mau tunduk lagi terhadap pemerintahan Madinah (perang melawan kemurtadan). Mereka menganggap bahwa perjanjian yang dibuat dengan Nabi, dengan sendirinya batal karena Nabi Wafat. Dan setelah menyelesaikan urusan perang dalam negeri, barulah Abu Bakar mengirim kekuatan ke luar Arabia (Syria) (Yatim, 2004:35-36).
Di zaman Umar gelombang ekpansi pertama terjadi, tentara Bizantium kalah dipertempuran Yarmuk, seluruh daerah Syria jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Karena perluasan daerah terjadi dengan cepat Umar segera mengatur administrasi Negara, mendirikan departemen dan ditertibkannya sistem pembayaran gaji dan pajak tanah. Pengadilan dan kepolisian didirikan (Yatim, 2004:37). Umar juga membangun Baitul Maal yang regular dan permanen sebagai bendahara Negara, selain itu Baitul Maal juga bertugas sebagai pelaksana kebijakan fiskal (Misanam. dkk, 2014:102).
Sedang khalifah ketiga adalah Usman bin Affan. Selama masa khalifahnya dan sebelum ia mati syahid, banyak bermunculan kritik dan penggerogotan yang dilontarkan kepada dirinya. Namun ia tidak membungkam seorangpun dengan menggunakan kekuatannya sebagai khalifah. Ia anti tindak kekerasan dan penggunaan kekuatan, ia lebih senang mempergunakan taktik tolerans dan kelembutan kecuali dalam masalah hukum Allah. Dan dengan terus mempertahankan kebiasaannya seperti itu, hingga ia mati ditikam oleh orang-orang yang mencoba membangkitkan fitnah dan kerusuhan (Al-Kilany, tt:86).
Diungkapkan oleh abu Syuhbah dan Abu Zahu sebagaimana dikutip oleh Mohammad Najib (2001:51). Bahwa mulai terjadinya masa al-fitnah (kekacauan) pada periode kepemimpinan Usman. Kekacauan itu dimanfaatkan oleh kaum zindik dengan menghembuskan faham yang saling mengadu domba, dengan cara membuat-buat Hadis yang sesuai dengan paham kelompok yang saling berlawanan. Inilah awal munculnya Hadis Maudhu atau Hadis palsu.
Setelah Usman wafat, masyarakat membaiat Ali ibn Abi Thalib sebagai Khalifah, dan memerintah selama enam tahun. Pemerintahannya tidak pernah stabil, sehingga tidak nampak adanya kebudayaan yang dibangun. Terdapat pemberontakan yang dimotori oleh Tolhah, Zubair dan didukung Aisyah yang dikenal dengan perang Jamal. Kemudian disusul pemberontakan dari Gubernur yang dipecat, Muawiyah bin Abi Sufyan, yang berlanjut dengan perang Sifin yang hampir dimenangkan pihak Ali. Karena kelihaian dan kelicikan pihak Muawiyah Ali bersedia mengikuti ajakan damai. Akibatnya ditinggalkan oleh sebagian pengikutnya (khawarij) yang tidak menyetujui jalan damai (tahkim) dan Ali diancam dibunuh dengan alasan damai dalam perang tidak sesuai ajaran Islam. Perkembangan selanjutnya Ali kalah dalam perundingan dan khalifah berpindah kepada Muawiyah. Ancaman pembunuhan kaum Khawarij kepada Ali betul-betul terjadi.
Yang sangat menonjol pada masa Khulafaur Rasyidin adalah terjadinya perluasan daerah kekuasaan sebagai lahan dakwah dan sumber pendapatan, Harun Nasution (1986:56-61) mencatat faktor-faktor yang menyebabkan ekspansi sangat cepat, yaitu: 1) Islam di samping ajaran akidah, juga mementingkan soal pembentukan masyarakat. 2) Keyakinan tentang kewajiban dakwah ke seluruh penjuru dunia. Selain itu kegemaran Bangsa Arab berperang, maka bertemulah antara kegemaran berperang dengan keyakinan adanya kewajiban menyampaikan ajaran Islam. 3) Bizantium dan Persia, waktu itu mulai memasuki masa kemunduran. Problemnya antara lain, terdapat pertentangan antara penganut agama, juga perebutan kekuasaan. 4) Kerajaan Bizantium memaksakan aliran yang dianut kepada rakyat, sehingga rakyat merasa hilang kemerdekaannya. Sedangkan Islam cara dengan damai. 5) Bangsa Sami di Suria dan Palestina serta bangsa Hami di Mesir memandang bangsa Arab lebih dekat kepada mereka ketimbang bangsa Eropa Bizantium yang menguasai mereka. 6) Daerah yang sudah dikuasai Islam seperti Mesir, Suria dan Irak penuh dengan kekayaan, sehingga mempermudah untuk biaya ekspansi berikutnya.
Sedangkan perkembangan ilmu al-Qur’an pada masa Nabi, pemerintahan Abu Bakar dan Umar belum terjadi pembukuan, karena umat Islam belum memerlukannya, sebab umat Islam pada waktu itu adalah para sahabat Nabi yang langsung berhubungan dengan Nabi. Akan tetapi pada masa pemerintahan Usman terjadi perselisihan mengenai bacaan al-Quran, sehingga usman menyeragamkan tulisan al-Qur’an. Tindakan tersebut merupakan perintisan bagi kelahiran ilmu “Rasmil Qur’an” dan “Rasmil Utsman”. Dan pada masa Ali, semakin banyak bangsa non-Arab yang masuk Islam dan mereka tidak menguasai bahasa Arab. Maka Ali memerintahkan kepada Abul Aswad al-Duali untuk menyusun kaidah bahasa Arab. Maka masa kekhalifahan Ali ini dipandang sebagai masa perintisan kelahirannya Ilmu Nahwu dan Ilmu I’rabil Quran. Pada abad I dan II inilah di mulainya ilmu al-Qur’an dalam perkembanganya lahir Ilmu Tafsir, Ilmu Asbabun Nuzul, Ilmul Makky wal Madani, Ilmun Nasik wan Mansukh dan Ilmu Gharibul Qur’an (Zuhdi, 1997:25).
Sikap Rasulallah terhadap al-Quran, beliau secara resmi menginstruksikan penulisannya disamping dihafal, sedang terhadap Hadis ia hanya menyuruh menghafalnya dan melarang menulisnya secara resmi. Pelarangan penulisan ini terjadi pada periode awal Islam karena ditakutkan jika disatukan pada satu suhuf dengan al-Quran. Sedang pada masa sahabat besar perhatian masih fokus pada pemeliharaan dan penyebaran al-Quran, maka periwayatan Hadis belum begitu berkembang. Meskipun demikian mereka berupaya mempertahankan keotentikan kedua-duanya, setelah al-Qur’an terkumpul dalam satu suhuf mereka baru menuliskan Sunnah Nabi.  Pada masa tabi’in tidak berbeda dengan masa sahabat, hanya saja persoalan mereka ahli Hadis menyebar ke beberapa kekuasaan Islam (Suparta, 2002:75-85).
c.          Masa Dinasti Umayyah Dan Abbasiyah
Pendiri dinasti Muawiyah adalah Muawiyah bin Abu Sufyan, kekhalifahan diperoleh melalui kekerasan, tipu daya dan diplomasi dengan pihak Ali bin Abi Thalib. Suksesi kekhalifahan berikutnya dilakukan dengan cara turun temurun (monarchi) tanpa musyawarah dan pemilihan dengan mencontoh kepemimpinan di Persia dan Bizantium dengan tetap menggunakan istilah Khalifah. Untuk memperkuat legitimasi rakyat, Muawiyah menyebutnya “Khalifah Allah” dalam pengertian khalifah yang diangkat oleh Allah (Badri Yatim, 2001:42).
Ekspansi zaman dinasti ini dilakukan ke Timur dan Barat. Ke wilayah Timur Muawiyah dapat menundukan Khurasan sampai ke sungai Oxus dan Afganistan sampai ke Kabul. Ekspansi dilanjutkan ke India hingga dapat menguasai Bulikhistan dan daerah Punjab sampai ke Maltan Ke wilayah Barat, selanjutnya masuk ke Spanyol, Tentara Spanyol di bawah pimpinan Raja Roderick dapat dikalahkan, Toledo, ibu kota Spanyol ditundukan demikian pula kota-kota lain seperti Seville, Malaga, Elvira dan Cordova yang kemudian menjadi ibu kota Spanyol Islam yang dalam bahasa Arab disebut Andalusia. Pada zaman khalifah Umar bin Abdul Aziz dilakukan serangan ke Perancis, tetapi gagal dan tentaranya kembali mundur ke Spanyol (Harun Nasution, 1985:61-62).
Daerah-daerah yang dikuasai Islam di zaman dinasti Muawiyah meliputi: Spanyol, Afrika Utara, Suria, Palestina, Semenanjung Arabia, Irak, sebahagian dari Asia Kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Rurkmenia Uzbek dan Kirgis di Asia Tengah. Ekspansi yang dilakukan zaman Muawiyah inilah yang membuat Islam menjadi negara besar, dan menimbulkan benih-benih kebudayaan dan peradaban yang baru. 1) Perubahan bahasa administrasi dari bahasa Yunani dan Pahlawi ke dalam bahasa Arab.  Orang-orang non Arab menjadi pandai berbahasa Arab, 2) Penyair-penyair Arab baru bermunculan setelah perhatian mereka terhadap syair Arab Jahiliyah dibangkitkan. 3) Terdapat pusat kegiatan ilmiah di Kufah dan Bashrah. Bidang yang menjadi perhatian adalah Tafsir, Hadits, Fikih, dan Kalam. 4) Merubah mata uang Bizantium dan Persia seperti dinar dan dirham. Penggantinya  uang  dirham  terbuat  dari  emas  dan  dirham  dari  perak  dengan memakai kata-kata dan tulisan Arab, 5) Dibangun masjid-masjid dan istana.
Sedang dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abu al-Abbas al-Saffah. Dinasti ini terbentuk melalui kudeta yang dilakukan oleh Abu Abbas dengan dukungan kaum Mawali dan Syiah terhadap dinasti Umayyah. Kekuasaan dinasti ini berlangsung 500 tahun, sejak tahun 132-656 H/750-1258 M. Kejayaan dinasti Abbasiyah berada pada delapan khalifah, tetapi pada zaman Harun al-Rasyid dan al-Ma’mun, Bagdad menjadi pusat persentuhan budaya dan ilmu pengetahuan (Mubarok, 2004:76).
Kemajuan yang dicapai dinasti Abbasiyah mencakup ilmu agama, filsafat dan sain (Harun Nasution, 2001:65-69). Ilmu agama yang dikembangkan pada masa ini mencakup: Ilmu Hadits: Ilmu Tafsir: Ilmu Fiqih Ilmu Tasawuf , Ilmu Kalam atau Theologi, Ilmu Tarikh, Ilmu Sastra, Ilmu agama lainnya seperti ilmu al-Qori ’ah, ilmu Bahasa, dan Tata Bahasa. Di antara ilmu yang menarik pada masa dinasti Abbasiyah adalah Filsafat. Ilmu ini berasal dari Yunani kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, bahkan juga buku-buku yang berasal dari Persia maupun Spanyol. Dari gerakan ini muncul para filosof Islam, seperti: Al-Kindi, Al-Razi, Al-Farabi, Ibn Sina, Al-Ghazali, Ibn Rusyd, Ibn Bajjah. Kemajuan sains pada masa dinasti Abbasiyah didukung oleh Science Policy, yakni antara lain dengan didirikannya akademi, sekolah dan observatorium (lembaga ilmiah  yang  melakukan  penelitian  dan  pengajarannya  sekaligus)  di  samping perpustakaan. Dengan kebijakan tersebut menimbulkan kemajuan-kemajuan dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, seperti: Kedokteran, Ilmu Kimia, Astronomi, Matematika, Optik, Fisika, Geografi dan Sains lainnya.
Pengaruh dari kebudayaan bangsa yang sudah maju tersebut, terutama melalui gerakan penterjemahan, bukan saja membawa kemajuan di bidang ilmu pengetahuan tetapi juga ilmu pengetahuan agama. Dalam bidang tafsir, sejak awal sudah dikenal dua metode, yaitu pertama: tafsir bi al-ma’tsur, yaitu interpretasi tradisional dengan mengambil interpretasi dari nabi dan para sahabat. Kedua, Tafsir bi al-ra’yi, yaitu metode rasional yang lebih banyak bertumpu kepada pendapat dan pikiran dari pada hadis dan pendapat sahabat (Yatim, 2004:56)
Abad ke-2 H dalam sejarah Islam terkenal sebagai masa lahirnya berbagai golongan umat Islam, beberapa golongan lahir karena peristiwa politik seperti Syiah, Khawarij dan Murjiah, ada pula golongan yang lahir semata-mata karena perbedaan faham akidah seperti, Jabariah, Qadariah, mu’tazilah dll., serta ada pula golongan-golongan yang lahir akibat perbedaan prinsip pemikiran dalam menafsirkan hukum al-Qur’an dan al-Sunnah (as-Syarqawi, 2000:121).
Ketika pemerintahan dipegang bani Umayah, dengan perluasan wilayah kekuasaan Islam, penyebaran para sahabat ahli hadis ke daerah-daerah terus meningkat sehingga masa penyebaran ini dikenal dengan masa menyebarnya periwayatan hadis (intisyar al-riwayah ila al-amshar). Sedangkan saat pemerintahan dipegang bani Abbas, masa ini disebut masa seleksi atau penyaringan Hadis. munculnya periode seleksi ini, karena pada periode sebelumnya yaitu periode tadwin, belum berhasil memisahkan beberapa hadis mauquf dan maqthu’ dari hadis marfu’ juga hadis yang dha’if dari yang shahih (Suparta, 2002:92).
2.         Masa Disintegrasi (1000-1250 M)
Perkembangan peradaban dan kebudayaan serta kemajuan besar yang dicapai abbasiyah pada periode pertama telah mendorong para penguasa untuk hidup mewah ditambah dengan kelemahan khalifah dan faktor lainnya yang menyebabkan pemerintahan terganggu dan rakyat menjadi miskin, akibatnya banyak dinasti-dinasti yang memerdekakan diri dari Baghdad. Ada kemungkinan penguasa bani abbasiyah lebih mementingkan peradaban dan kebudayaan dari pada politik dan ekpansi. Selain itu ada persaingan antar bangsa atau fanatisme kebangsaan yang memunculkan gerakan syu’ubiyah, terutama antara Arab, Persia dan Turki, dan juga perbedaan paham keagamaan yaitu Syi’ah dan Sunni (Yatim, 2004:61-63).
Berakhirnya kekuasaan Dinasti Seljuk atas Baghdad atau khilafah Abbasiyah merupakan awal dari periode kelima. Pada periode ini, khalifah Abbasiyah tidak lagi berada di bawah kekuasaan suatu dinasti tertentu, walaupun banyak sekali dinasti Islam berdiri. Ada di antaranya yang cukup besar, namun yang terbanyak adalah dinasti kecil. Para khalifah Abbasiyah, sudah merdeka dan berkuasa kembali, tetapi hanya di Baghdad dan sekitarnya. Wilayah kekuasaan khalifah yang sempit ini menunjukkan kelemahan politiknya. Pada masa inilah tentara Mongol dan Tartar menyerang Baghdad. Baghdad dapat direbut dan dihancur luluhkan tanpa perlawanan yang berarti. Kehancuran Baghdad akibat serangan tentara Mongol ini awal babak baru dalam sejarah Islam, yang disebut masa pertengahan (http://id.wikipedia.org).

C.  PENGARUH INTERNAL DAN EKSTERNAL
Secara umum sejarah peradaban Islam klasik pada masa kemundurannya, terutama dinasti Abbasiyah dapat dilihat dari dua faktor yaitu internal dan eksternal (Badri Yatim, 2003: 80-85). Adapun faktor internal. yaitu:
1.    Perebutan kekuasaan dan lemahnya Khalifah
Sejak berakhirnya kekuasaan dinasti Saljuk di Baghdad, khalifah Abbasiyah sudah merdeka kembali, namun kekuasaannya hanya di daerah Baghdad saja. Sementara itu, wilayah Abbasiyah lainnya diperintah oleh dinasti-dinasti kecil yang tersebar di sebelah timur dan barat Baghdad.
2.         Persaingan antar Bangsa
Adanya kecenderungan bangsa-bangsa -Maroko, Mesir, Syria, Irak, Persia, Turki, dan India- untuk mendominasi kekuasaan sudah dirasakan sejak Abbasiyah berdiri. Periode I. pengaruh Persia, II. pengaruh Turki, III. pengaruh Persia II, IV. pengaruh Turki II, dan V. bebas pengaruh bangsa lain tapi hanya di Baghdad saja.
3.         Kemerosotan Ekonomi
Setelah khilafah memasuki periode kemunduran, pendapatan negara menurun sementara pengeluaran meningkat lebih besar. Menurunnya pendapatan negara itu disebabkan oleh makin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat. diperingannya pajak dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti. Sedangkan pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan para khalifah dan pejabat semakin mewah. Jenis pengeluaran makin beragam dan para pejabat melakukan korupsi. Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan perekonomian negara morat-marit. Sebaliknya, kondisi ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan politik dinasti Abbasiyah kedua, faktor ini saling berkaitan dan tak terpisahkan (http://id.wikipedia.org).
4.         Konflik Keagamaan
Kekecewaan orang Persia terhadap cita-cita yang tak tercapai mendorong sebagian mereka mempropagandakan ajaran Mazuisme, Zoroasterisme, dan Mazdakisme. Antara orang beriman dan kaum zindik terjadi konflik bersenjata seperti gerakan Afsyn dan Qaramitah. Adanya konflik antara Syiah dan Ahlussunnah. Terjadinya Mihnah pada masa al-Ma’mun (813-833 M) yang menjadikan Mu’tazilah menjadi mazhab resmi negara. Al-Mutawakkil (847-861M) menghapus Mu’tazilah digantikan oleh golongan salaf pengikut Hambali yang tidak toleran terhadap Mu’tazilah yang rasional telah menyempitkan horizon intelektual. Mu’tazilah bangkit lagi pada masa Buwaihi dan Saljuk, Asy’ariah menyingkirkan Mu’tazilah yang didukung oleh al-Ghazali yang katanya tidak menguntungkan bagi pengembangan kreativitas intelektual Islam sampai sekarang.
5.         Munculnya Hadis Maudhu atau Hadis Palsu
Berdasarkan data sejarah yang ada, pemalsuan Hadis tidak hanya dilakukan oleh orang Islam akan tetapi juga dilakukan oleh orang-orang non-Islam.  Ada beberapa motif mereka membuat hadis palsu (Suparta, 2002:181-188): a. Pertentangan politik: konfik-konflik politik telah menyeret permasalah keagamaan masuk kedalam area perpolitikan dan membawa pengaruh juga pada madzab-madzab keagamaan, b. Usaha kaum zindik: kaum zindik termasuk golongan yang membenci Islam. Baik Islam sebagai Agama atau sebagai dasar pemerintahan. Pengakuan Abd Al-karim ibn ‘Auja’ yang dihukum mati di Basrah mengatakan “ Demi Allah saya telah membuat hadis palsu sebanyak 4.000 hadis”,  c. Fanatik terhadap Bangsa, Suku, Negeri, Bahasa dan Pimpinan: mereka membuat Hadis palsu karena didorong oleh sikap ego dan fanatik buta serta ingin menonjolkan seseorang, bangsa, golongan atau yang lain, d. Mempengaruhi kaum awam dengan kisah dan nasihat: mereka melakukan guna memperoleh simpatik dari pendengarnya dan agar kagum melihat kemampuannya, Hadis yang mereka katakan terlalu berlebihan dan tidak masuk akal, e. Perselisihan Mazhab dan Ilmu Kalam: munculnya Hadis palsu dalam masalah fiqih dan ilmu kalam ini berasal dari para pengikut madzab, mereka melakukan karena sifat fanatik dan ingin menguatkan madzabnya, f. Membangkitkan gairah ibadat,tanpa mengerti apa yang dilakukannya: banyak diantara para ulama yang membuat Hadis palsu dengan mengira usahanya itu benar dan merupakan upaya pendekatan diri kepada allah serta menjunjung tinggi agamanya, g. Menjilat penguasa: Ghiyas bin Ibrahim merupakan tokoh yang banyak di tulis dalam kitab Hadis sebagai pemalsu Hadis tentang perlombaan dengan maksud agar diberi hadiah dan simpati dari khalifah.
Dari beberapa motif  pembuat Hadis palsu diatas maka dapat dikelompokkan: 1) ada yang karena sengaja, 2) ada yang tidak sengaja merusak agama, 3) ada yang berkeyakinan bahwa membuat hadis palsu diperbolehkan dan 4) ada yang karena tidak tahu bahwa dirinya membuat hadis palsu. Atau dapat dikatakan bahwa tujuan mereka membuat hadis palsu dengan tujuan negatif dan positif. Akan tetapi, apapun alasan yang mereka kemukakan bahwa meriwayatkan hadis palsu adalah perbuatan tercela dan menyesatkan
Sementara itu, faktor eksternal yaitu:
1.         Perang Salib
Perang Salib adalah gerakan umat Kristen di Eropa yang memerangi umat Muslim di Palestina secara berulang-ulang mulai abad ke-11 sampai abad ke-13, dengan tujuan untuk merebut Tanah Suci dari kekuasaan kaum Muslim dan mendirikan gereja dan kerajaan Latin di Timur. Dinamakan Perang Salib, karena setiap orang Eropa yang ikut bertempur dalam peperangan memakai tanda salib pada bahu, lencana dan panji-panji mereka.
Istilah ini juga digunakan untuk ekspedisi-ekspedisi kecil yang terjadi selama abad ke-16 di wilayah di luar Benua Eropa, biasanya terhadap kaum pagan dan kaum non-Kristiani untuk alasan campuran; antara agama, ekonomi, dan politik. Skema penomoran tradisional atas Perang Salib memasukkan 9 ekspedisi besar ke Tanah Suci selama Abad ke-11 sampai dengan Abad ke-13. “Perang Salib” lainnya yang tidak bernomor berlanjut hingga Abad ke-16 dan berakhir ketika iklim politik dan agama di Eropa berubah secara signifikan selama masa Renaissance. Perang Salib pada hakikatnya bukan perang agama, melainkan perang merebut kekuasaan daerah. Hal ini dibuktikan bahwa tentara Salib dan tentara Muslim saling bertukar ilmu pengetahuan. Perang Salib berpengaruh sangat luas terhadap aspek-aspek politik, ekonomi dan sosial, yang mana beberapa bahkan masih berpengaruh sampai masa kini. Karena konfilk internal antara kerajaan-kerajaan Kristen dan kekuatan-kekuatan politik, beberapa ekspedisi Perang Salib (seperti Perang Salib Keempat) bergeser dari tujuan semulanya dan berakhir dengan dijarahnya kota-kota Kristen, termasuk ibukota Byzantium, Konstantinopel - kota yang paling maju dan kaya di benua Eropa saat itu.
Perang Salib Keenam adalah perang salib pertama yang bertolak tanpa restu resmi dari gereja Katolik, dan menjadi contoh preseden yang memperbolehkan penguasa lain untuk secara individu menyerukan perang salib dalam ekspedisi berikutnya ke Tanah Suci. Konflik internal antara kerajaan-kerajaan Muslim dan kekuatan-kekuatan politik pun mengakibatkan persekutuan antara satu faksi melawan faksi lainnya seperti persekutuan antara kekuatan Tentara Salib dengan Kesultanan Rum yang Muslim dalam Perang Salib Kelima (http://id.wikipedia.org).
2.         Serangan Hulagu Khan (Tentara Mongol)
Hulagu Khan, cucu Jengis Khan, melakukan serangan-serangan menuju Baghdad dengan mengalahkan Khurasan di Persia dan Hasysyasyin di Alamut terlebih dahulu. Pada tanggal 10 Pebruari 656 H/1258 M, ia dan pasukannya sampai ke tepi kota Baghdad. Perintah untuk menyerah ditolak oleh khalifah al-Mustha’shim (khalifah terakhir Abbasiyah), sehingga Baghdad dikepung dan dihancurkan (Harun Nasution, 2001:76). Sepanjang sejarahnya, Baghdad menjadi pusat peradaban Muslim serta dunia pada umumnya. Berbagai perpustakaan di Baghdad memiliki koleksi yang tak tertandingi di masanya. Perpustakaan Baitul Hikmah, didirikan tak lama setelah kota selesai dibangun, menjadi magnet bagi para ilmuwan yang paling cerdas, filsuf, matematikawan, dan ahli bahasa dari seluruh dunia. Para khalifah adalah penyuka sastra, sains dan seni.
Pada pertengahan 1200-an, kemegahan Baghdad sebagai pusat peradaban mulai memudar. Para khalifah dan pejabat negara lebih tertarik kepada kesenangan duniawi ketimbang menjadi wakil Allah dengan menjadi pelayan masyarakat. Minuman keras, musik, budak-budak cantik dan permainan-permainan tanpa makna menjadi kegemaran kalangan istana. Para militer Abbasiyah secara de facto sudah tidak ada, hanya berfungsi sebagai pengawal khalifah belaka. Kejayaan ilmiah dunia Muslim kala itu berpindah ke beberapa tempat seperti Kairo, Andalusia dan India. Pada tahun 1258, bala tentara Mongol tiba di kota bersejarah itu. Menurut sejarahwan, tentara mereka diperkirakan lebih dari 150.000 orang. Kota yang dibangun pada tahun 800an itu diambang kehancuran.
Bangsa Mongol tidak pernah mengenal ampun dan selalu membuat kerusakan di negeri-negeri yang dikalahkannya. Mereka menyerbu dan menguasai peradaban-peradaban lain hanya untuk mendapatkan jarahan. Pengepungan dimulai pada pertengahan Januari dan Baghdad jatuh hanya dalam dua minggu. Pada 13 Februari 1258, bangsa Mongol memasuki kota para khalifah. Penjarahan dan perusakan dilakukan seminggu penuh. Bangsa Mongol menampilkan diri sebagai penjarah dengan membakar masjid, rumah sakit, istana dan perpustakaan. Buku-buku dari perpustakaan Baghdad dibuang ke Sungai Tigris dalam jumlah tak terkira, sehingga air sungai menghitam oleh tinta yang luntur dari jutaan buku. Buku yang bertumpuk-tumpuk menjadi jembatan dadakan, menghubungkan satu tepi sungai dengan yang lain. Tentara dan kuda-kuda Mongol lalu-lalang di atasnya. Dunia tidak akan pernah benar-benar tahu sejauh apa pengetahuan hilang bersama musnahnya jutaan buku tersebut, baik dilemparkan ke sungai maupun dibakar.
Lebih dari itu adalah hilangnya nyawa. Diperkirakan sekitar1.000.000 orang dibantai dalam satu minggu penjarahan. Putri-putri Persia dan Arab menjadi pelampiasan hasrat seksual tentara Mongol. Pasukan Mongol tidak dapat membedakan mana leher ilmuwan yang seharusnya dijaga dan leher para pendosa yang layak dipenggal. Tidak ada yang tersisa di Baghdad. Baghdad menjadi kota yang tak berpenghuni setelah ditinggalkan tentara Mongol. Butuh waktu beberapa abad untuk memulihkan Baghdad sebagai kota penting di Arabia (http://m.nasional.rimanews.com). 

D.  USAHA PARA ULAMA UNTUK MEMINIMALISIR PENGARUH EKTERNAL
Sebagaimana telah disebutkan, benturan-benturan antara Islam dan kekuatan dunia luar (eropa) telah menyadarkan umat Islam bahwa, mereka memang jauh tertinggal. Yang pertama merasakan hal itu diantaranya Turki Usmani, karena kerajaan ini yang pertama dan utama menghadapi kekuatan Eropa. Kesadaran itu memaksa penguasa dan pejuang-pejuang Turki untuk belajar dari Eropa.
Usaha untuk memulihkan kembali kekuatan Islam pada umumnya –yang dikenal dengan gerakan pembaharuan- didorong oleh dua faktor yang saling mendukung pemurnian ajaran Islam dari unsur-unsur asing yang dipandang sebagai penyebab kemunduran Islam yaitu pertama dengan munculnya gerakan Wahabiyyah yang dipelopori oleh Muhammad ibn Abd al-Wahhab (1703-1787) di Arabia, Syah Waliyullah (1703-1762 M) di India, dan gerakan Sanusiyyah di Afrika Utara oleh Said Muhammad Sanusi dari Aljazair. Kedua menimba gagasan-gagasan pembaharuan dan ilmu pengetahuan dari barat, yaitu dengan pengiriman para pelajar muslim oleh penguasa Turki Usmani lalu dilanjutkan dengan penterjemahan karya-karya barat ke dalam bahasa Islam.
Gerakan pembaharuan itu juga memasuki dunia politik, karena Islam tidak bisa dipisahkan dengan politik. Gagasan politik pertama kali muncul adalah gagasan Pan-Islamisme (persatuan Islam sedunia) yang disuarakan oleh tokoh pemikir Islam ternama, Jamaluddin Al-Afghani (1839-1897 M). Oleh karena itu dia dikenal sebagai bapak nasionalisme dalam Islam. Akan tetapi, gagasan Pan-Islamisme dengan cepat redup, terutama setelah Turki Usmani bersama sekutunya, Jerman kalah dalam Perang Dunia I dan kekhalifahan dihapus oleh Mustafa Kamal tokoh yang mendukung gagasan nasionalisme, rasa kesetiaan kepada negara kebangsaan.
Gagasan nasionalisme yang berasal dari Barat itu masuk ke negeri-negeri muslim itu masuk melalui persentuhan umat Islam dengan barat yang menjajah mereka dan dipercepat oleh pelajar-pelajar muslim yang menuntut ilmu ke Eropa atau lembaga-lembaga pendidikan “Barat” yang didirikan di Negeri mereka. Gagasan kebangsaan ini pada mulanya banyak mendapat tantangan dari pemuka-pemuka Islam karena dipandang tidak sejalan dengan semangat ukhuwah Islamiyah. Akan tetapi, ia berkembang cepat setelah gagasan Pan-Islamisme redup. Perkembangan gagasan nasionalisme untuk membebaskan diri dari kekuasaan penjajah Barat yang kafir juga bangkit di negeri-negeri Islam lainnya (Yatim, 2004:184-187).

E.  KESIMPULAN
Keberadaan daulah-daulah dalam sejarah peradaban Islam mengikuti hukum pertumbuhan (the law of growth) yaitu merintis, membangun, menikmati pembangunan, mundur dan akhirnya hancur (Lubis, 2014:5). Dalam perintisannya, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulallah, Islam dikembangkan dengan penanaman akidah dan pembentukan masyarakat yang didasarkan pada wahyu Allah (al-Qur’an) terbuki dari perkembangan ilmu al-Qur’an yang didalamnya membahas ilmu Makky dan ilmu Madany, dan ilmu-ilmu al-Qur’an lainnya (Ulumul Qur’an). Sedangkan dalam membangun sebuah tatanan masyarakat, Islam menggunakan sikap tolerans berdasarkan al-Qur’an dan Hadis, sehingga Islam mudah diterima diluar.
Perkembangan Islam ke dunia luar juga dilakukan dengan ekpedisi yang merupakan gabungan antara kekuatan militer dan mubalig. Ini menandakan bahwa, agama pada umumnya, dan Islam khususnya, tidak dapat dipisahkan dari ranah perpolitikan suatu daulah atau pemerintahan. Karena maju-mundurnya kebudayaan dan peradaban bisa dilihat dari produk-produk ilmu yang dihasilkan.
Situasi perpolitikan yang kondusif akan bisa menghasilkan banyak produk pemikiran dan dan ilmu pengetahuan, sebaliknya jika situasi perpolitikan tidak kondusif, maka sulit sekali kajian ilmu dan pemikiran dapat berkembang. Di samping itu dukungan dari pemerintah atau penguasa juga merupakan hal yang sangat penting. Fenomena munculnya Hadis palsu adalah salah satu faktor, atau suatu bentuk pemerintahan atau perpolitikan yang tidak kondusif.
Jadi kesimpulannya adalah, kondisi perpolitikan sangat berpengaruh terhadap pengembangan keilmuan dan pemikiran. Menciptakan situasi yang kondusif dan berfikir inklusif sangat penting bagi seorang Muslim yang kritis, terutama dalam pengembangan studi al-Quran dan Hadis.  



DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman al-Syarqawi, Riwayat Sembilan Imam Fiqih (Jakarta, Pustaka Hidayah, 2000).
Al-Kilany, Ismail, Sekularisme: Upaya Memisahkan Agama dari Negara, Pustaka Al-Kausar, tt.
Lubis, Ridwan, Pendekatan Studi Islam, Kudus, Artikel seminar Pascasarjana STAIN Kudus, 2014.
Misanam, Nunrokhim. dkk. Ekonomi Islam, Ed. I, Cet. 6, Jakarta: Rajawali Pers, 2014.
Mubarok, Jaih. Sejarah Peradaban Islam, Cet. I, Bandung: Pustaka Islamika, 2008.
Najib, Muhamad, Pergolakan Politik Umat Islam dalam Kemunculan Hadis Maudhu, Bandung, Cet. I, CV Pustaka Setia, 2001.
Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, cet. 5, jilid 1, Jakarta: UI Press. 1985.
Suparta, Munzier, Ilmu Hadis, -Cet. 3, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Ed. 1, Cet. 16, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004.
Zuhdi, Masjfuk, Pengantar Ulumul Qur-an, Cet. V, Surabaya: Karya Abditama, 1997.
http://id.wikipedia.org /wiki/Kekhalifahan_Abbasiyah #Kemerosotan_Ekonomi. dan #Masa_Disintegrasi_.281000-1250_M.29 Diakses pada tanggal 14 maret 2015.

Previous
Next Post »

1 komentar:

Write komentar
Unknown
AUTHOR
3 December 2016 at 09:48 delete

maksih mas mudah mudahan bermanfaat

Reply
avatar