LEMBAGA KEUANGAN MIKRO SYARIAH (PENGERTIAN, SEJARAH, PENGEMBANGAN DAN PERAN)

LEMBAGA KEUANGAN MIKRO SYARIAH
(PENGERTIAN, SEJARAH, PENGEMBANGAN DAN PERAN)
Oleh : M Iqbal Notoatmojo
iqbalbwox@gmail.com

A.  PENDAHULUAN
Problematika pokok dan tantangan pembangunan sosial ekonomi bangsa Indonesia dan khususnya umat Islam yang hingga saat ini belum terselesaikan adalah masalah pengangguran, kemiskinan, dan kesenjangan pertumbuhan. Disisi lain kita sering menyaksikan kekurangan, keterbelakangan dan ketidakberesan umat Islam itu sendiri. Kesenjangan antara realita umat Islam dengan ajaran idealnya merupakan masalah terbesar yang harus diselesaikan terlebih dahulu meskipun yang terpenting adalah kesadaran dan usaha yang terencana terutama dalam bidang ekomomi (Azizy, 2004:31)
Usaha Mikro yang merupakan mayoritas dari entitas pengusaha di negeri ini, peran, dan kontribusinya tidak diragukan lagi dalam penyerapan tenaga kerja dan Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Namun demikian fasilitas pembiayaan usaha mereka dari dunia perbankan sangat minim, sehingga banyak dari mereka yang terjerat pada rentenir bunga tinggi.
Di sisi lain masyarakat Indonesia mayoritas Muslim yang dalam aktifitas kehidupannya terikat dengan norma-norma syariah, dimana dalam pratek muamalah dilarang untuk melakukan Riba (bunga), Masyir (Perjudian), dan Gharar (riba transparan).
Dengan melihat beberapa masalah diatas maka persoalan yang perlu kita lihat adalah; Pertama: sejauh mana Lembaga Keuangan Mikro Syariah melakukan peran dan fungsi dasarnya, yaitu sebagai lembaga perantara atau intermediasi yang menghubungkan antara pihak-pihak yang kelebihan dana dengan pihak-pihak yang kekurangan dana (kesenjangan pertumbuhan). Kedua: hal-hal apasaja yang harus dilakukan oleh Lembaga Keuangan Mikro Syariah, mengingat masih lemahnya kualitas dan kompetensi serta pemahaman muamalah-nya, guna menyongsong era microfinance 2020 (http://www.tamzis.com).



B.  PENGERTIAN DAN SEJARAH LKMS
1.      Pengertian
Memahami pengertian lembaga keuangan paling tidak dapat dipahami dari pada yang dikemukakan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang memberi pengertian bahwa lembaga keuangan adalah “badan di bidang keuangan yang bertugas menarik uang dan menyalurkannya kepada masyarakat” (http://kbbi.web.id).
Selain itu juga didalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1967 Tentang Pokok-Pokok Perbankan Baik Konvensional maupun Syari’ah, yang menjelaskan bahwa lembaga keuangan adalah “semua badan yang melakukan kegiatan-kegiatan di bidang keuangan dengan menarik uang dari masyarakat dan menyalurkan kembali ke masyarakat” (www.sjdih.depkeu.go.id).
Dari dua pengertian diatas maka jika dikaitkan dengan kata “syariah” maka dapat diambil pengertian bahwa Lembaga Keuangan Syariah adalah “badan yang melakukan kegiatan-kegiatan di bidang keuangan dengan menarik uang dari masyarakat dan menyalurkan kembali ke masyarakat dengan menggunakan prinsip syariah”.
Sedangkan kata “mikro” pada Lembaga Keuangan Mikro Syariah, memberi pengertian yang menunjukkan pada tingkat yang ruang lingkup atau cakupannya lebih kecil. Dengan asumsi perbandingan bahwa lembaga keuangan besar salah satunya adalah berbentuk bank dengan modal berskala besar, maka lembaga keuangan mikro adalah suatu lembaga, badan, bank atau sejenisnya yang mempunyai capital kecil dan diperuntukkan untuk sektor usaha/modal kecil. Dalam pengertian ini masuk kedalamnya adalah Baitul Mal Wattamwil (BMT), Koperasi Syariah, Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS).
Sejak ditetapkannya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan, tatanan sistem kelembagaan lembaga keuangan di Indonesia mengalami perubahan secara mendasar. Diantaranya hasil perubahan tatanan sistem lembaga keuangan syariah tersebut adalah; a. Perbankan Islam (Bank Umum Syariah/BPR Syariah), b. Asuransi Takaful, c. Leasing (Ijarah), d. Pegadaian Syariah (Rahn), e. Raksadana Syariah, f. DPLK Syariah, g. BMT Koperasi Syariah (Muhamad, 2000:62)
2.      Sejarah
Awal Kehadiran Koperasi Syariah di Indonesia Kehadiran koperasi syariah dengan koperasi konvensional tidaklah berbarengan. Di Indonesia sendiri, koperasi dengan berbasis syariah Islam lahir pertama kali dengan wajah paguyuban usaha yang diberi label Syarikat Dagang Islam (SDI). Adapun pendiri dari SDI adalah H. Samanhudi yang berlokasi di Solo, Jateng. Adapun anggota yang bergabung waktu itu sebagai mitranya adalah dari para pedagang yang beragama Islam atau muslim, dengan mayoritas jenis usaha mereka adalah pedagang kain atau baju batik.
Koperasi Syariah mulai terlihat ‘bernafas’ ketika banyak orang menyikapi menjamurnya pertumbuhan BMT atau Baitul Maal Wat Tamwil di Indonesia. BMT yang tersohor pertama kali adalah BMT Bina Insan Kamil thn 1992 yang menjalankan usahanya di Jakarta. Dan ternyata kehadiran BMT ini mampu menghadirkan warna tersendiri bagi perekonomian masyarakat khususnya bagi kalangan yang diistilahkan dengan ‘akar rumput’ atau yang juga dikenal grassroot.
Koperasi Indonesia. Walau begitu, berjalan dan berkembangnya BMT bukan tanpa halangan. Berdasarkan UU No. 7 thn 1992 tentang Perbankan menggariskan bahwa segala aktivitas dalam bentuk pengumpulan dana masyarakat dalam bentuk tabungan dan disalurkan dalam sistem kredit harus berbentuk Bank (pasal 26). Hal di atas menjadi permasalahan bagi berjalannya aktivitas BMT pada masa itu, namun guna mengatasi persoalan tersebut maka munculah yang disebut LPSM (Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat) yang menjadi payung bagi KSM BMT. LPSM tersebut di antarnaya adalah : P3UK yang bertindak sebagai penggagas awal, PINBUK serta FES Dompet Dhuafa Republika.
Basis aktivitas ekonomi kerakyatan adalah falsafah dari sebuah BMT yakni dari swadaya anggota oleh anggota serta disalurkan untuk kesejahteraan anggota maka berdasarkan UU RI No 25 thn 1992 tersebut berhak menyandang badan hukum koperasi, di mana letak perbedaannya dengan Koperasi berbasis Konvensional atau yang tidak menggunakan sistem syariah hanya pada sistem operasionalnya saja, dalam Koperasi Syariah yang namanya bunga diharamkan dan mengusung etika moral berbisnis dengan melihat kaidah halal dan haram yang digariskan oleh Al-Qur’an dan hadis dalam menjalankan usahanya.
Dari perjalanan di atas maka pada tahun 1994 berdiri sebuah perkumpulan yang disebut juga dengan forum komunikasi (FORKOM) BMT yang mencakup sejabotabek yang anggotanya terdiri dari BMT yang berdomisili di Jakarta, Tangerang, Bogor, dan juga Bekasi (Jabotabek). Forum ini sejak tahun 1995 dalam setiap rapat rutinnya, berusaha menggagas naungan hukum bagi anggotanya, maka lahirlah ide pendirian BMT dengan badan menggunakan hukum Koperasi, sekalipun badan hukum Koperasi yang waktu itu masih sebatas menggunakan jenis lembaga Koperasi setingkat Karyawan Yayasan.
Baru pada thn 1998 dari hasil beberapa rapat Forkom BMT yang umumnya anggotanya yang telah bergabung telah memegang badan hukum koperasi terjadi sebuah keputusan untuk pendirian sebuah koperasi sekunder yakni Koperasi Syariah Indonesia (KOSINDO) dan ini terjadi pada tahun 1998, yaitu sebuah koperasi non-primer dengan dikuatkan oleh keputusan Menteri Koperasi, Pengusaha Kecil dan Menengah RI No. 028/BH/M.I/XI/1998. yang dipimpin oleh DR, H. Ahmat Hatta, MA. Selain KOSINDO berdiri pula lembaga lain yang masih dalam sistem yang sama yaitu seperti INKOPSYAH (Induk Koperasi Syariah) yang dicetuskan oleh PINBUK (Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil). ICMI, dan KOFESMID (Koperasi Forum Ekonomi Syariah Mitra Dompet Dhuafa) yang didirikan oleh lembaga zakat Dompet Dhuafa Republika sendri.
Khususnya di jawa tengah, pada tahun 2002 lahir pula Pusat Koperasi Syariah Jawa Tengah yang disingkat Puskopsyah BMT Jateng. Sejak berdirinya, hingga saat ini, Puskopsyah telah beranggotakan 182 BMT atau koperasi barbasis KJKS. Dengan motto ‘Commited to Sharia Finance’ para pengurus dan pengelolanya berharap semoga lembaga ini dapat menjadi penopang tumbuh dan berkembangnya koperasi syariah di Indonesia, khususnya untuk daerah jawah tengah (http://pinbukindonesia.com).

C.  PENGEMBANGAN DAN PERAN LKMS
1.      Pengembangan
Pada dekade tahun 2000-an sekarang, perkembangan industri keuangan syariah di Indonesia mengalami kemajuan pesat. Perkembangan  industri keuangan syariah diawali dengan terbitnya Undang- Undang No 10 Tahun 1998 tentang perubahan Undang-Undang No 7 tahun 1992, yang mengatur tentang peraturan yang membolehkan setiap bank konvensional membuka sistem pelayanan syariah di cabangnya (dual banking system), dan terbitnya Undang-Undang No 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
Perkembangan selanjutnya yaitu keluarnya fatwa tentang haramnya bunga bank yang dikeluarkan oleh MUI pada tahun 2003, keluarnya fatwa ini memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan industri keuangan syariah. Perkembangan selanjutnya adalah dengan terbitnya peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-Undang No 21 tahun 2008 yang mengatur tentang operasional perbankan syariah di Indonesia dan diperbaharui dengan terbitnya Peraturan Bank Indonesia (PBI) No 11/3/PBI/2009 yang memuat tentang prosedur dan aturan dalam mendirikan kantor cabang, membuat perkembangan jumlah kantor layanan bank syariah bertambah dengan pesat (http://pinbukindonesia.com)
Hal ini dapat dilihat dari data statistik perbankan syariah Bank Indonesia (Desember 2014), jumlah unit kantor cabang syariah mengalami peningkatan yang cukup pesat, yaitu mencapai 438kantor cabang bank umum syariah dan 320 kantor cabang bank konvensional yang membuka unit usaha syariah (www.bi.go.id).
Implikasi positif dari kebijakan pemerintah diatas adalah banyak berdirinya lembaga-lembaga keuangan syariah. Dalam perkembangannya sekarang ini, ada dua jenis lembaga keuangan syariah yaitu lembaga keuangan syariah yang berupa bank dan non-bank. Lembaga keuangan syariah yang berupa bank terdiri dari Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS) sedangkan lembaga keuangan syariah non-bank antara lain berupa Asuransi Syariah (AS), Baitul Maal Wa Tamwill (BMT), Unit Simpan Pinjam Syariah (USPS).
Sedangkan Suhrawardi K Lubis (2000) mengelompokkan beberapa kegiatan lembaga dan instrumen keuangan berdasar pada teks hukum yang ada dalam ketentuan syariat Islam yaitu;
a.       Kegiatan non-bank: 1). Lembaga zakat, 2). Lembaga ijarah, 3). Kafalan, 4). Salam, 5). Rahn, 6). Akad, 7). Waris, 8). Qiradh, 9). Syirkah, dan lain-lain.
b.      Kegiatan perbankan; 1). Al Wadi’ah, 2). Al Mudharabah, 3). Al Musyarakah atau syirkah, 4). Al Bai’u Bithaman Ajil dan lain-lain
Fungsi dasar dari lembaga keuangan syariah yaitu sebagai lembaga perantara atau intermediasi yang menghubungkan antara pihak-pihak yang kelebihan dana dengan pihak-pihak yang kekurangan dana. Bank syariah sebagai salah satu jenis lembaga keuangan syariah pada kenyataannya masih belum mampu menjangkau Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Padahal lapisan inilah penyedia lapangan kerja terbesar di Indonesia.
Pada kenyataannya di lapangan membuktikan bahwa layanan pembiayaan dengan menggunakan pendekatan perbankan sulit dilakukan dan tidak menjangkau UMKM dikarenakan adanya faktor yang membatasi hubungan UMKM dengan perbankan, yaitu masalah agunan dan formalitas. Namun demikian saat ini telah ada lembaga keuangan syariah yang berpihak pada pengusaha mikro yaitu BMT (http://pinbukindonesia.com).
Makhalul Ilmi (2002) mengemukakan kendati lahirnya banyak BMT di tanah air begitu menggembirakan, bukan berarti proses ini begitu mulus. Banyak persoalan penting yang perlu segera di pecahkan, permasalahan itu antara lain yaitu:
a.    Implementasi sistem perbankan syariah dalam operasional BMT yang belum maksimal sehingga perlu terus dievaluasi untuk siap diperbaiki sewaktu-waktu. Keadaan ini disebabkan karena prinsip-prinsip syariah yang menjadi frame of refrence dalam operasional BMT belum sepenuhnya dipahami dengan baik oleh sebagian besar pengelola BMT sendiri. Misalnya pemahaman tentang uang dalam prinsip syariah adalah sebagai alat tukar bukan alat komoditas yang di jual-belikan.
b.    Masih sulitnya mencari figur yang tepat untuk menempati posisi Dewan Pengawas Syariah karena beberapa alasan dibawah ini:
1)   Sebagian besar ulama kita masih bercorak tradisional-konsevatif, sulit menerima perubahan, seta tidak memiliki wawasan yang memadai di bidang perbankan.
2)   Sistem perbankan syariah yang dianut BMT dan sejak awal dijadikannya refrensi dalam proses pengolahan lembaga sampai sekarang belum banyak dipelajari masyarakat.
3)   BMT dan umumnya lembaga keuangan syariah belum banyak dikenal oleh masyarakat Islam itu sendiri, termasuk oleh ulama yang sebenarnya sangat diharapkan dukungannya.
c.    Masyarakat Indonesia telah sejak lama mengenal perbankan konvensional yang beroperasi dengan sistem bunga, sehingga pengenalan perbankan syariah berikut prosedur-prosedurnya membutuhkan proses panjang.
d.   Implementasi prinsip-prinsip syariah dalam operasional masih banyak kendala seperti konsep pengerahan dan penyaluran dana yang perlu disempurnakan, persiapan sumberdaya insani yang belum maksimal, serta dukungan umat Islam sendiri yang masih setengah hati.
e.    Masih banyak pengelola BMT yang orientasi kerjanya lebih diarahkan untuk mendapatkan keuntungan semata (profit oriented) dengan mengabaikan misi sosial lembaga yang sebenarnya sama-sama penting.
Dari permasalahan-permasalahan diatas Makhalul Ilmi (2002) menawarkan beberapa solusi alternatif yaitu:
a.    Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan-pelatihan (diklat) berkelanjutan yang berhubungan dengan soal ke-BMT-an, manajemen keuangan syariah, serta metodologi hukum Islam berikut kaidah-kaidah (qowa’id fiqh).
b.    Mengembangkan Sekolah Tinggi Agama Islam dengan membuka jurusan-jurusan baru yang spesifik mendalami materi ke-BMT-an dan perbankan syariah.
c.    Kegiatan sosialisasi BMT harus terus berjalan di tengah masyarakat, terutama di daerah-daerah yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
d.   Mengajak ulama melakukan kajian ilmiah atau diskusi mengenai beberapa masalah ekonomi (mudzakarah iqtishadiyyah) dengan konsentrasi kajian diseputar produk-produk penghimpunan dan penyaluran dana lembaga keuangan syariah.
e.    Menerbitkan buku-buku panduan yang dapat di jadikan satu refrensi bagi pengelola BMT.
f.     Dalam rangka mengantisipasi terjadinya penyimpangan dalam usaha BMT, baik segi pengolahan dana maupun penerapan prinsip-prinsip syariah dalam akad-akad pengelolaannya perlu terus dievaluasi kemudian disempurnakan (diperbaharui) kembali dengan memasukkan ketentuan baru yang ekplisit mengatur hal-hal yang berhubungan dengan usaha lembaga keuangan mikro syariah.
2.      Peranan
Lembaga ekonomi mikro pada awal pendirinya memfokuskan diri untuk meningkatkan kualitas usaha ekonomi untuk kesejahteraan anggota dan masyarakat melalui pinjaman modal. Untuk mencapai tujuan tersebut lembaga keuangan mikro syariah (BMT) memainkan peran dan fungsinya dalam beberapa hal (Muhamad, 2002:60):
a.       Mengidentifikasi, memobilisasi, mengorganisasi, mendorong dan mengembangkan potensi ekonomi anggota, kelompok anggota muamalat dan daerah kerjanya.
b.      Meningkatkan SDM/SDI anggota lebih professional dan islami sehingga semakin utuh dan tangguh dalam menghadapi persaingan global.
c.       Menggalang dan memobilisasi potensi masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraan anggota.
d.      Dapat menjadi perantara antara agniyah sebagai shohibul maal dengan dhu’afa sebagai mudharib terutama untuk dana-dana sosial seperti zakat, infaq, shodaqah, wakaf, hibah dan lain-lain.
e.       Menjadi perantara keuangan, antara pemilik dana, baik sebagai pemodal maupun penyimpan dengan pengguna dana untuk mengembangkan usaha produktif.
Dalam sistem keuangan, perkembangan pemikiran-pemikiran yang mengarah pada reorientasi sistem keuangan, yaitu dengan menghapus instrumen utamanya: bunga. Usaha tersebut dilakukan dengan tujuan mencapai kesesuaian dalam melaksanakan prinsip-prinsip ajaran Islam yang mengandung dasar-dasar keadilan, kejujuran dan kebajikan. Dengan demikian lembaga keuangan atau bank Islam ini adalah yang beroperasi dengan prinsip bagi hasil. Bagi hasil adalah prinsip muamalah berdasarkan syariah dalam melaksanakan kegiatan usahanya.
Berbicara tentang peranan sesuatu, tidak dapat dipisahkan dengan fungsi dan kedudukan sesuatu itu. Diantara lembaga keuangan dan bank yang beroperasi dengan sistem bagi hasil adalah Bank Muamalat Indonesia, Bank IFI Syariah, Bank Syariah Mandiri dan Bank BNI Syariah ditambah dengan BPR-BPR Syariah dan Baitul Mal Wattamwil. Hadirnya lembaga keuangan ini diharapkan mampu menjangkau masyarakat paling bawah, untuk mengenal dan memanfaatkan jasa bank.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa lembaga keuangan bank maupun non-bank yang bersifat formal dan beroperasi dipedesaan, umumnya tidak dapat menjangkau lapisan masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Ketidak mampuan tersebut terutama dalam sisi penanggungan resiko dan biaya operasi, juga dalam identifikasi usaha dan pemantauan penggunaan kredit yang layak usaha. Ketidak mampuan lembaga keuangan ini penyebab terjadinya kekosongan pada segmen pasar keuangan di wilayah pedesaan. Akibatnya 70% s/d 90% kekosongan ini diisi oleh lembaga keuangan non-formal, termasuk yang ikut beroperasi adalah para rentenir dengan mengenakan suku bunga yang tinggi. Untuk menanggulangi kejadian-kejadian seperti ini perlu adanya suatu lembaga yang mampu menjadi jalan tengah. Wujud nyatanya adalah dengan memperbanyak mengoperasionalkan lembaga keuangan berprinsip bagi hasil, yaitu; BPR Syariah dan Baitul Mal Wattamwil (Muhamad, 2000:65).

D.  KESIMPULAN
Hal yang patut kita banggakan sebagai umat Islam adalah menjamurnya Lembaga keuangan Mikro Syariah yang pelaksanaannya menggunakan konsep bagi hasil, karena sebagaimana prinsip syariat Islam yang mengharamkan bunga bank atau riba. Keberadaan LKMS akan semakin kuat dan diterima oleh masyarakat terutama masyarakat menengah ke bawah jika dibarengi dengan peningkatan Sumber Daya Insani yaitu skill, pengetahuan dan akhlak yang sesuai dengan tuntunan Rasulallah Saw sehingga mampu mengubah tantangan menjadi sebuah peluang guna menyongsong era microfinance 2020.
Dari tulisan singkat diatas, kita menyadari masih banyak pekerjaan rumah (tugas) yang harus dilaksanakan. LKMS tidak akan bisa dengan sendirinya untuk mengatasi masalah kemiskinan dan kesenjangan pertumbuhan yang begitu kompleks dan pelik, akan tetapi kita tidak boleh bersikap skeptis terhadap peranan dan fungsi LKMS, meskipun masih banyak kekurangan dan permasalahan yang ditimbulkan, fenomena LKMS adalah sebuah kebangkitan baru dan kesadaran yang harus diupayakan untuk selalu tumbuh dan berkembang. Mengingat program keuangan Mikro ini adalah sebuah aksi nyata dalam upaya mengurangi bahkan mengentaskan problem sosial kemiskian yang dapat menjerumuskan umat kepada kekufuran. Oleh karena itu segala kegiatan yang bersifat mendukung dan menunjang program LKMS merupakan bagian integral yang tidak terpisahkan dari Tauhid dan Iman kepada Allah.



DAFTAR PUSTAKA

Azizy, A. Qodry, Membangun Fondasi Ekonomi Umat, Yokyakarta, cet I, Pustaka Pelajar, 2004.

http://kbbi.web.id, diakses pada tanggal 20 Februari 2015.




Ilmi. Makhalul SM, Teori dan Praktek Mikro Keuangan Syariah: Beberapa permasalahan dan Alternatif solusi, Yogyakarta, Cet 1, UII Press, 2002.

Lubis. Suhrawardi K, Hukum Ekonomi Islam, Jakarta, -Ed 1, Cet 1, Sinar Grafika, 2000.

Majalah Tamaddun, Baituttamwil TAMZIS, edisi 40/ th.09/ Juli-Agustus 2014 diakses via http://www.tamzis.com/content/view/232/118/ tanggal 22 Februari 2015.

Muhamad, Lembaga Ekonomi Syariah, Yogyakarta, Ed 1, Cet 1, Graha Ilmu. 2007.

Muhamad, Lembaga-Lembaga Keuangan Umat Kontemporer, Yogyakarta, Ed I, cet I, UII Press, 2000.

Previous
Next Post »