Oleh: M Iqbal Notoatmojo
iqbalbwox@gmail.com
A.
PENDAHULUAN
Kita
bangsa Indonesia sering menyebut Negeri kita sebagai sebuah masyarakat yang
majemuk (plural) dengan semboyannya Bhineka Tunggal Ika, hal ini bisa kita lihat atau disebabkan
beragamnya agama, ras, suku dan bahasa ada didalamnya, khusus dalam bidang
agama, agama-agama besar (Islam, Kristen, Hindu, Budha) terwakili di Negeri
ini. Dan dalam perjalanannya agama Islam sendiri pun terdapat beberapa
golongan. Diantaranya adalah NU, Muhamadiyyah,
Persis, Syiah dan lainnya. Yang didalamnya
banyak sekali pertentangan pendapat.
Dengan
demikian tidak dipungkiri bahwa kita sebagai bangsa Indonesia harus mempunyai
rasa toleransi yang tinggi. Pandangan-pandangan ini tidak ada salahnya. Tetapi jika
dikehendaki adanya kemampuan untuk menumbuhkan dan memelihara segi-segi positif
tersebut itu secara lebih terarah dan sadar, maka diperlukan pengertian akan
permasalahnya secara lebih substantif.
Setiap ajaran agama memiliki nilai-nilai universal
karena tidak ada satu agama pun yang mengajarkan dan memerintahkan pemeluknya
berbuat jahat, tidak berlaku adil, bermusuhan, dan lain-lain. Oleh karena itu
dari nilai universalitas ini, tiap-tiap pemeluk agama memiliki keinginan
bersama untuk hidup berdampingan tanpa permusuhan, juga memiliki misi yang sama
untuk membangun peradaban dunia atas dasar nilai-nilai agama yang universal itu
(Ghazali, 2005:7)
Secara sosiologis, pluralisme agama adalah suatu
kenyataan bahwa kita adalah berbeda-beda, beragam dan plural dalam hal
beragama. Ini adalah kenyataan sosial, sesuatu yang niscaya dan tidak dapat
dipungkiri lagi. Dalam kenyataan sosial, kita telah memeluk agama yang
berbeda-beda. Pengakuan terhadap adanya pluralisme agama secara sosiologis ini
merupakan pluralisme yang paling sederhana, karena pengakuan ini tidak berarti
mengizinkan pengakuan terhadap kebenaran teologi atau bahkan etika dari agama
lain.
Pada makalah ini bahasan kita akan mengupas mengenai
bagaimana sikap Islam dalam keberagamaan
umat, dan berbagai model memahami Islam yang plural ini sehingga bisa
beriringan?.
Tujuan dari pembahasan ini, dimaksudkan agar pembaca
memahami kondisi masyarakat kita, dan mampu menyikapinya dengan tepat, terutama
tentang pentingnya sikap bertoleransi dalam masyarakat yang plural ini.
Sebagaimana yang kita ketahui agama adalah hal yang vital yang melekat pada
keyakinan pemeluknya. Sedikit perbedaan akan menimbulkan
kerenggangan, oleh karena itu pemahaman akan toleransi dirasa amat penting dalam hal ini.
B. BERAGAMA DALAM KEBERAGAMAN
Agama merupakan kompilasi doktrin-doktrin yang
bersifat baku dan tidak berubah alias abadi. Namun, disebabkan oleh perbedaan
konteks ruang dan waktu, interpretasi terhadap doktrin-doktrin tersebut secara
faktual sangat beragam. Keberagaman
interpretasi itulah yang kemudian melahirkan beragam model dan karakter
keberagamaan di kalangan para penganutnya.
Sebagai
contoh, dalam Islam, model-model keberagamaan tersebut terformalisasi dalam
mazhab-mazhab, baik fikih, teologi
(kalam) dan mistisisme (tasawuf). Diluar
mazhab-mazhab tersebut, masih banyak lagi model keberagamaan yang lain.
Dilihat dari sisi penerimaan terhadap kelompok lain,
secara garis besar terdapat dua model keberagamaan, yaitu model keberagamaan eksklusif
dan model keberagamaan inklusif (Wijdan, 2007:138). Kedua model ini bisa
dikatakan berada pada posisi yang berlawanan secara diametral dan sering
berkontestasi dalam menyebarkan wacana masing-masing.
Model keberagamaan eksklusif adalah model keberagamaan yang kurang (baca:tidak) bisa
menerima keberagaman. Keberagamaan model ini cenderung relatif kaku dan
emosional. Paradigma
dalam model keberagamaan ini adalah realitas harus disesuaikan dengan doktrin
keagamaan. Model
keberagamaan ini juga melahirkan klaim kebenaran (claim of truth) dan
klaim keselamatan (claim of salvation) (Komarudin,1996:14). Pemahaman keagamaan kelompok
sendirilah yang benar dan menyelamatkan, sedangkan pemahaman keagamaan lain
dianggap salah dan menyesatkan.
Keberagamaan eksklusif
ini sangat rigid dalam menilai sebuah pemahaman dengan membuat garis demarkasi
yang tegas. Hal-hal
yang tidak ada dalam doktrin, dianggap sebagai bid’ah (mengada-ada) yang harus
ditinggalkan dan dijauhi. Secara
lebih mendasar, mereka membuat kriteria baku terhadap segala sesuatu yang
dianggap merupakan bagian dari peradaban Islam dan yang bukan peradaban Islam.
Dalam konteks seperti inilah terdapat potensi ketegangan dan konflik
antarperadaban (clash of civilization).
Kelompok keberagamaan eksklusif ini juga menolak
interpretasi baru terhadap teks-teks keagamaan karena dianggap telah keluar
dari mainstream Islam yang sesungguhnya. Singkatnya, interpretasi baru terhadap
teks dianggap akan mereduksi agama dan karena itu dipandang sebagai salah satu
bentuk penyimpangan.
Sedangkan model inklusif
adalah model keberagamaan yang bisa menerima keberagaman dalam memahami
doktrin-doktrin agama. Bahkan bisa menerima perbedaan agama, baik dengan cara
pandang relativisme maupun substansialisme.
Perbedaan
agama dipandang hanya pada tataran eksoterik atau penampakan luarnya, tetapi
sesungguhnya seluruh agama mempunyai tujuan yang sama-sama mulia.
Model keberagamaan eksklusif merupakan cikal bakal
kelahiran tradisi tekstualisme. Jika
berbicara dalam konteks masa depan, tekstualisme sesungguhnya merupakan
tantangan karena berpotensi besar membunuh agama sendiri, karena dunia
senantiasa mengalami perubahan. Tidak
mungkin, masyarakat dapat mengartikulasikan teks yang lahir pada belasan abad
yang lalu dengan konteks masyarakat yang masih sangat sederhana dan bahkan
dalam beberapa kasus masih primitif, dalam masyarakat kontemporer yang sudah
mengalami modernisasi yang berimplikasi kepada sofistikasi problem kehidupan.
Agar agama
memerankan fungsinya yaitu menjadi dialektis konstruktif, perlu dikembangkan
program reinterpretasi pesan-pesan agama. Dalil-dalil normatif yang ada pada
tiap-tiap agama harus di-break down dalam bentuk teori-teori sosial yang dapat
diaplikasikan. Atau lebih tepatnya harus dikontekstualisasikan agar berfungsi
historis, kekinian, dan membumi. Disini peran ulama atau para pemika agama
sangat dibutuhkan dalam reinterpretasi agama (Ghozali. 2007:25).
Karena masih
kuatnya mainstream keberagamaan eksklusif merupakan sebuah tantangan untuk
menciptakan tatanan kehidupan masyarakat yang bisa berdampingan dengan
ketulusan yang dalam dan penuh kedamaian. Sebab, eksklusifisme berpotensi menjadi radikalisme dan intoleransi. Karena itu, pekerjaan yang paling
penting dilakukan adalah mulai memperkenalkan wacana multikulturalisme dan kemudian
menginternalisasikan paradigma tersebut dalam masyarakat penganut agama,
sehingga bisa menjadi tradisi yang mantap dan matang dalam kehidupan
keseharian.
Untuk memahami
perbedaan, kita perlu melihat agama dengan seperangkat ajarannya, disatu sisi,
dengan para penganut yang mengamalkan ajaran agamanya, disisi yang lain. Dalam
bahasa sehari-hari, sering kita temukan istilah “agama” dan “keberagamaan”.
Agama adalah seperangkat doktrin, kepercayaan atau sekumpulan norma dan ajaran
tuhan yang bersifat universal dan mutlak kebenarannya. Adapun keberagaman
adalah penyikapan atau pemahaman para penganut agama terhadap doktrin
kepercayaan, atau ajaran-ajaran Tuhan itu, yang tentu saja bersifat relatif,
dan sudah pasti, kebenarannya menjadi bersifat relatif. Hal ini karena setiap
penyikapan terikat oleh sosio-kultural; dan setiap lingkungan sosio kultural
tentu sangat memengaruhi pemahaman seseorang tentang agamanya. Dari sinilah,
muncul keragaman pandangan dan paham keagamaan (Ghozali. 2007:19-20).
Untuk mentradisikan paradigma multikulturalisme,
dialog antar kelompok-kelompok
yang berbeda senantiasa relevan dilakukan.
Semua
yang terkait dengan keyakinan, sesungguhnya adalah masalah persepsi dan
pemahaman. Karena
itu, jalan yang paling realistis dan strategis ditempuh adalah menemukan
titik-titik temu dari segala macam perbedaan yang ada. Dengan saling memahami, maka akan
tumbuh dan berkembang paradigma pluralisme
dan inklusivisme dan tertanam sebagai
prinsip dalam kehidupan beragama sehingga tidak akan muncul fanatisme sempit,
membenarkan diri atau kelompok sendiri dan menyalahkan orang atau kelompok
lain.
C. ISLAM DAN WACANA PEMBAHARUAN
Salah satu imbas positif dari peristiwa pengeboman
gedung WTC (9/11) adalah munculnya wacana tentang Reformasi atau Pembaruan
Islam. Wacana ini sesungguhnya bukanlah
baru, karena para sarjana sudah sejak lama mendiskusikannya. Yang baru adalah
bahwa wacana ini kini dibicarakan secara luas, tak hanya oleh kalangan akademis
saja, tapi juga oleh media massa, politisi, dan para pengambil keputusan di
negara-negara Barat.
Thomas L. Friedman, kolumnis terkenal asal Amerika,
misalnya, menulis sebuah artikel menarik di New York Times, berjudul “An
Islamic Reformation” (4/12/02). Menurutnya, Pembaruan Islam adalah sebuah
keharusan bagi kaum Muslim sekarang ini, karena perang terhadap terorisme dan
radikalisme akan percuma tanpa diikuti perbaikan dari dalam kaum Muslim
sendiri.
Baginya, Amerika “bisa membunuh Osama bin Laden dan
para pengikutnya, tapi yang lain akan muncul menggantikannya. Satu-satunya yang
bisa memerangi akar kekerasan itu adalah kaum Muslim sendiri. Dan itu hanya mungkin terjadi jika
mereka sendiri yang memperjuangkan demokrasi dan pembaruan agama.”
Sejak satu tahun terakhir, Pembaruan Islam menjadi
perhatian serius Gedung Putih. Kegagalan pemerintahan Bush dalam perang melawan
terorisme (aksi-aksi teror tidak menurun, bahkan cenderung meluas, dari Irak,
Jordan, Indonesia, dan beberapa negara di Eropa), membuat para pengambil
keputusan di sana memikirkan strategi ulang dalam menghadapi terorisme Islam.
Salah satu kesimpulannya adalah seperti apa yang
direkomendasikan Friedman di atas, yakni membasmi terorisme Islam tidak cukup
dengan membunuh Osama, tapi mendorong kaum Muslim sendiri untuk terlibat secara
intensif memerangi kejahatan atas nama agama. Dan langkah pertamanya adalah
melakukan Pembaruan Islam.
Salah satu strategi baru yang akan atau sudah
dijalankan adalah program yang disebut Muslim World Outreach (Menjangkau Dunia
Islam) yang proposalnya disetujui Gedung Putih pertengahan tahun lalu. Pada
intinya, strategi ini menganjurkan pemerintah Amerika agar memanfaatkan dan
membantu lembaga-lembaga Islam, kaum Muslim moderat, serta LSM-LSM Islam yang
berkecimpung dalam mempromosikan demokrasi, hak-hak perempuan, dan toleransi
(U.S. News and World Report, 25/4/05). Hanya dengan cara inilah, perang
terhadap terorisme dan kejahatan atas nama agama bisa diatasi (www.assyaukanie.com).
1.
Peran Intelektual
Perhatian yang begitu besar dari tokoh dunia di
negara-negara Barat sudah seharusnya disambut baik. Bila perlu kaum Muslim harus
belajar dan meminta bantuan, bukan hanya dalam hal materi, tapi juga dalam hal
metode dan cara bagaimana
melakukan reformasi keagamaan. Bagaimanapun,
negara-negara Barat memiliki pengalaman panjang dalam melakukan agenda
reformasi agama. Apa
yang terjadi dalam dunia Kristen dengan gerakan Reformasi Protestanisme bisa
ditiru untuk konteks Islam sekarang.
Pembaruan Islam bukanlah sesuatu yang baru dan sama
sekali bukanlah agenda yang diciptakan oleh Gedung Putih. Ia sudah ada
sekurangnya sejak abad ke-19, ketika para pembaru Islam seperti Jamal al-Din
al-Afghani (w. 1897) dan Muhammad Abduh (w. 1905) memulai gerakan ini di Mesir.
Pada saat itu, agenda utama Reformasi Islam adalah membebaskan kaum Muslim dari
pemahaman agama yang sempit dan kaku.
Sejak abad ke-15, secara intelektual kaum Muslim
mengalami kemunduran serius. Berbeda
secara diametris dengan orang-orang Eropa yang memulai masa kebangkitan dan
pencerahan, kaum Muslim sejak abad itu memulai tidur panjang dalam
keterbelakangan dan kebodohan. Beberapa kerajaan Islam yang muncul selama masa
ini, seperti Usmaniyyah di Turki dan Moghul di India, hanya mampu memproduksi
alat-alat perang dan sedikit seni arsitektur. Tidak ada pencapaian intelektual
yang berarti selama periode itu.
Para pembaru Islam menyadari akan kondisi tersebut,
dan atas dasar itulah mereka memulai gerakan Pembaruan Islam, sebuah agenda
yang sampai kini masih terus berlanjut. Di Indonesia, gerakan Pembaruan Islam
dimulai dari Minangkabau, Sumatra Barat, oleh para tokoh pembaru agama seperti
Abdullah Ahmad (w. 1933), Muhammad Djamil Djambek (w. 1947), dan Hadji Rasul
(w. 1945). Gerakan ini kemudian diteruskan oleh para tokoh pembaru Islam di
pulau Jawa, seperti K.H Hasjim Asy'arie, K.H. Ahmad
Dahlan (w. 1923), H.O.S. Tjokroaminoto (w. 1934), dan Hadji Agus Salim (w.
1954). Setelah kemerdekaan, agenda
Pembaruan Islam diteruskan oleh para intelektual Muslim liberal semacam
Nurcholish Madjid, K.H. Abdurrahman Wahid, M. Dawam Rahardjo, dan M. Syafii
Maarif.Tokoh-tokoh ini adalah para reformis sejati yang menyadari pentingnya
pembaruan dilakukan dalam tubuh umat Islam.
Organisasi besar Islam seperti Muhammadiyah dan NU
ketika dipegang oleh para tokoh pembaru itu, memainkan peran yang sangat besar
dalam melakukan pencerahan kepada umat Islam. Sayangnya,
setelah para tokoh reformis itu tak lagi berkiprah, organisasi-organisasi itu
kini menjadi mandek, bahkan cenderung menjadi puritan dan anti terhadap
reformasi keagamaan.
2.
Kesempatan Emas
Kaum Muslim harus tetap menjalankan agenda Reformasi
Islam, bukan untuk memenuhi ajakan Amerika, tapi untuk kebaikan diri mereka
sendiri. Bahwa agenda itu kemudian mendapat
dukungan dari Amerika dan negara-negara Barat, ini bukanlah sesuatu yang harus
ditolak dan dicemooh, tapi justru harus disyukuri dan disambut baik. Para
pembaru Islam memiliki kesamaan pandangan dengan negara-negara Barat karena
mereka memang memiliki landasan berpikir yang sama, yakni tentang kemajuan,
persamaan, toleransi, dan penghormatan kepada hak-hak dasar manusia.
Ini adalah kesempatan emas, baik bagi negara-negara
maju seperti Amerika maupun bagi para pembaru Muslim yang ingin menyaksikan
perubahan dalam komunitas mereka. Sebuah kerjasama yang baik dengan strategi
yang matang, Pembaruan Islam yang diharapkan, akan bisa dicapai.
Jika selama ini kita berbicara tentang dialog dan
kerjasama dengan Barat, maka inilah saat yang tepat untuk melakukan dialog dan
kerjasama itu. Negara-negara Barat memiliki pengalaman panjang dalam menghadapi
kejumudan, keterbelakangan, dan fanatisme agama. Sudah
sewajarnya kaum Muslim belajar dari pengalaman mereka.
Musuh bersama umat beragama saat ini adalah
otoritarianisme penafsiran terhadap ajaran-ajaran agama. Lembaga-lembaga agama yang
otoriter, yang merasa benar sendiri, adalah musuh bagi kebebasan beragama.
Kekerasan agama tidak dimulai dari Osama bin Laden atau Dr Azahari, tapi dari
ajaran-ajaran intoleran yang bibit-bibitnya disemai oleh para otoritas agama
yang otoriter.
Pada akhirnya, semuanya terpulang kepada kaum Muslim
sendiri, apakah mereka tetap ingin memelihara pemikiran-pemikiran sempit yang
berujung pada kekerasan agama dan terorisme, ataukah mereka ingin melanjutkan
Pembaruan Islam, sebuah agenda luhur yang telah disemai oleh para pembaru
Muslim sejak abad ke-19.
D.
ISLAM ANTARA NORMATIVITAS DAN HISTORISITAS
1. Pengelompokkan Islam Normatif dan
Islam Historis
Ketika melakukan
studi atau penelitian Islam, perlu lebih dahulu ada kejelasan Islam mana yang diteliti; Islam pada
level mana. Maka penyebutan Islam Normatif dan Islam Historis
adalah salah satu dari penyebutan level tersebut.
Istilah yang hampir sama dengan Islam Normatif dan Islam Historis adalah Islam sebagai wahyu
dan Islam sebagai produk sejarah (Atho Mudzar. 1998: 19-22). Sedangkan Islam Historis atau Islam
sebagai produk sejarah adalah Islam yang dipahami dan Islam yang dipraktekkan kaum muslim
di seluruh penjuru dunia, mulai dari masa nabi Muhammad SAW sampai sekarang.
Pengelompokkan
Islam normatif dan Islam historis menurut Nasr Hamid Abu Zaid mengelompokkan
menjadi tiga wilayah (domain) (Khoiruddin Nasution, 2009:15)
a. Pertama, wilayah teks asli Islam (the
original text of Islam), yaitu Al-qur’an dan sunnah nabi Muhammad yang
otentik.
b. Kedua, pemikiran Islam merupakan ragam
menafsirkan terhadap teks asli Islam (Al-qur’an dan sunnah nabi Muhammad SAW).
Dapat pula disebut hasil ijtihad terhadap teks asli Islam,seperti tafsir dan
fikih. Secara rasional ijtihad dibenarkan, sebab ketentuan yang terdapat di
dalam al-Qur’an dan al-Sunnah itu tidak semua terinci, bahkan sebagian masih
bersifat global yang membutuhkan penjabaran lebih lanjut. Di samping
permasalahan kehidupan selalu berkembang terus, sedangkan secara tegas
permasalahan yang timbul itu belum/tidak disinggung. Karena itulah
diperbolehkan berijtihad, meski masih harus tetap bersandar kepada kedua sumber
utamanya dan sejauh dapat memenuhi persyaratan. (Amin Syukur, 2006: 34)
Dalam
kelompok ini dapat ditemukan empat pokok cabang: 1) hukum/fikih, 2) teologi, 3)
filsafat, 4) tasawuf. Hasil ijtihad dalam bidang
hukum muncul dalam bentuk: 1)
fikih, 2) fatwa, 3) yurisprudensi
(kumpulan putusan hakim), 4) kodikfikkasi/unifikasi, yang muncul dalam bentuk
Undang-Undang dan komplikasi.
c. Ketiga, praktek yang dilakukan kaum muslim.
Praktek ini muncul dalam berbagai macam dan bentuk sesuai dengan latar belakang
sosial (konteks). (Nasr Abu Zaid.1997: 43) Contohnya : praktek sholat muslim di Pakistan yang tidak
meletakkan tangan di dada. Contohnya lainnya praktek duduk miring ketika
tahiyat akhir bagi muslim Indonesia, sementara muslim di tempat/ negara lain
tidak melakukannya.
Sementara
Abdullah Saeed menyebut tiga tingkatan pula, tetapi dengan formulasi yang
berbeda sebagai berikut :
a.
Tingkatan
pertama, adalah nilai pokok/dasar/asas, kepercayaan, ideal dan
institusi-institusi.
b.
Tingkatan
kedua adalah penafsiran terhadap nilai dasar tersebut, agar nilai-nilai
dasar tersebut dapat dilaksanakan/dipraktekkan.
c.
Tingkatan
ketiga manifestasi atau pratek berdasarkan pada nilai-nilai dasar
tersebut yang berbeda antara satu negara dengan negara lain, bahkan antara satu
wilayah dengan wilayah lain. Perbedaan tejadi karena perbedaan penafsiran dan
perbedaan konteks dan budaya.
Pada level
teks, sebagaimana telah ditulis sebelumnya, Islam didefinisikan sebagai wahyu.
Pada dataran ini, Islam identik dengan nash wahyu atau teks yang ada dalam
al-Qur’an dan sunnah nabi Muhammad. Pada masa pewahyuannya memakan waktu kurang
lebih 23 tahun.
Pada teks
ini Islam adalah nash yang menurut hemat penulis, sesuai dengan pendapat
sejumlah ilmuwan (ulama)
dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni:
a.
Nash
prinsip atau normatif-universal, dan
b.
Nash
praktis-temporal
Nash
kelompok pertama, nash prinsip atau normatif-universal, merupakan
prinsip-prinsip yang dalam aplikasinya sebagian telah diformatkan dalam bentuk
nash praktis di masa pewahyuan ketika nabi masih hidup.
Adapun
nash praktis-temporal, sebagian ilmuwan menyebutnya nash konstektual, adalah
nash yang turun (diwahyukan) untuk menjawab secara langsung (respon) terhadap
persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat muslim Arab ketika pewahyuan. Pada
kelompok ini pula Islam dapat menjadi fenomena sosial atau Islam aplikatif atau
Islam praktis.
Dengan
penjelasan diatas tadi dapat ditegaskan, syari’ah sebagai the original text
mempunyai karakter mutlak dan absolut, tidak berubah-ubah. Sementara fiqh sebagai hasil
pemahaman terhadap the original text mempunyai sifat
nisbi/relatif/zanni, dapat berubah sesuai dengan perubahan konteks; konteks
zaman; konteks sosial; konteks tempat dan konteks lain-lain. (Azizi, 2002:
56-57)
Sementara
dengan menggunakan teori Islam pada level teori dan Islam pada level praktek
dapat dijelaskan demikian. Untuk menjelaskan posisi syari’at pada level praktek
perlu dianalogkan dengan posisi nash, baik al-Qur’an maupun sunnah nabi
Muhammad SAW. Dapat disebutkan bahwa pada prinsipnya nash tersebut merupakan
respon terhadap masalah yang dihadapi masyarakat arab dimasa pewahyuan.
Kira-kira demikianlah posisi Islam yang kita formatkan sekarang untuk merespon
persoalan yang kita hadapi kini dan di sini. Perbedaan antara nash dan format
yang kita rumuskan adalah, bahwa nash diwahyukan pada nabi Muhammad, sementara
format yang kita rumuskan sekarang adalah format yang dilandaskan pada nash
tersebut. Hal ini harus kita lakukan, sebab persoalan selalu berkembang dan
berjalan maju, sementara wahyu sudah berhenti dengan meninggalnya nabi Muhammad
SAW (http://msitadriskimia.blogspot.com).
2. .Keterkaitan
Normativitas dan
Historisitas dalam
Studi Keislaman.
Dalam bukunya Studi Agama, Amin Abdullah (1999)
menjelaskan bahwa dalam wacana studi kontemporer, fenomena keberagamaan manusia
dapat dilihat dari sudut pendekatan. Ia tidak lagi dapat dilihat dari sudut
semata-mata terkait dengan normativitas ajaran wahyu, meskipun fenomena ini
sampai kapan pun adalah ciri khas daripada agama-agama yang ada, tetapi ia juga
dilihat dari sudut dan terkait erat dengan historisitas pemahaman dan
interpretasi orang perorang atau kelompok perkelompok terhadap norma-norma
ajaran agama yang dipeluknya. Pada umumnya normatifitas ajaran wahyu dibangun,
diramu, dibakukan dan ditelaah lewat pendekatan doctrinal-teologis, sedang
historisitas keberagamaan manusia ditelaah lewat berbagai sudut pendekatan
keilmuan sosial-keagamaan yang bersifat multi dan inter disipliner, baik lewat
pendekatan historis, filosofis, psikologis, kultural maupun antropologis.
Pendekatan dan pemahaman terhadap fenomena keberagaman
yang bercorak normatif dan historis tidak selamanya akur dan seirama. Hubungan
keduanya sering diwarnai dengan tensi atau ketegangan, baik yang bersifat
kreatif maupun destruktif. Pendekatan yang pertama, lantaran ia berangkat dari
tesk yang sudah tertulis dalam kitab suci –sampai batas-batas tertentu- adalah
bercorak literalis, tekstualis atau skriptualis. Pendekatan ini tidaklah
sepenuhnya menyetujui pemahaman yang dikemukakan oleh pendekatan yang kedua.
Pendekatan terhadap fenomena keberagamaan yang pertama dituduh oleh yang
pertama sebagai pendekatan dan pemahaman keagamaan yang bersifat “reduksionis”,
yakni pemahaman yang hanya terbatas pada aspek eksternal-lahiriah saja dari
keberagamaan manusia dan kurang begutu memahami, menyelami dan menyentuh aspek
batiniah-eksoteris serta makna terdalam dan moralitas oleh ajaran agama.
Sedang pendekatan studi agama yang kedua, yang lebih
bersifat historis balik menuduh corak pendekatan yang pertama sebagai jenis pendekatan dan pemahaman
keagamaan yang cenderung bersifat “absolutis”, lantaran para pendukung
pendekatan yang pertama ini cenderung mengabsolutkan teks yang sudah tertulis,
tanpa berusaha memahami terlebih dahulu apa sesungguhnya yang melatar belakangi
berbagai teks keagamaan yang ada. Dalam Islam pendekatan yang kedua ini
menggaris bawahi telaah pentingnya “asbabunuzul” baik yang bersifat kultur,
psikologi maupun sosiologis
Bahkan ketika menghadapi masalah-masalah historisitas pengetahuan,
patut disayangkan bila sarjana-sarjana muslim dan non muslim yang hendak
mengembangkan wacana mereka dalam ilmu-ilmu keIslaman secara psikologi merasa
terintimidasi dengan problem reduksionisme dan non reduksionisme. Dalam hal-hal
tertentu, ada beban psikologis dan institusional yang terlibat dalam
memperbesar dan memperluas domain, scope dan metodologi ilmu-ilmu keIslaman
karena persoalan itu. Sejak awal mula Fazlur Rahman sendiri telah menempatkan
Islam normative dalam kerangka kerjanya atau sebagai hard core dalam kerangka
kerja Lakatos, yang harus dilindungi dengan sifat-sifatnya yang mendorong pada
penemuan-penemuan dan penyelidikan-penyelidikan baru (positive heuristic). Hard
core atau Islam normative sama
dengan apa yang telah ditetapkan sebagai objek studi agama yang tepat dengan
menggunakan pendekatan fenomenologis.
Bangunan
baru ilmu-ilmu keIslaman, setelah diperkenalkan dan dihubungkan dengan wacana
filsafat ilmu dan sosiologi ilmu penegetahuan, lebih lanjut harus mempertimbangkan
penggunaan sebuah pendekatan dengan tiga dimensi untuk melihat fenomena agama
Islam, yakni pendekatan yang berunsur linguistic-historis, teologis-filosofis,
dan sosiologis-antropologis pada saat yang sama. Tentang apa dan bagaimana
pendekatan tersebut sudah banyak ditulis oleh para ahlinya.
Dengan
demikian, ilmu-ilmu keIslaman yang kritis, sebagaimana yang dinyatakan oleh
Fazlur Rahman dan Mohammed Arkoun beserta kolega-kolega mereka yang memiliki
keprihatinan yang sama, hanya dapat dibangun secara sistematik dengan
menggunakan model gerakan tiga pendekatan secara sirkuler, dimana masing-masing
dimensi dapat berinteraksi, berinterkomunikasi
satu dengan lainnya. Masing-masing pendekatan berinteraksi dan dihubungkan
dengan yang lainnya. Tidak
ada satu pendekatan maupun disiplin yang dapat berdiri sendiri. Gerakan dinamis ini pada esensinya
adalah hermeneutic (http://msitadriskimia.blogspot.com).
E. BERBAGAI MODEL PEMAHAMAN
1.
Tiga
Pendekatan Memahami Keberagaman Agama
Dalam rangka kerukunan, setiap penganut agama harus memahami agamanya dan
menyadari pula keragaman dan perbedaan dalam beragama. Dalam kajian-kajian
teoritis, untuk memahami keragaman dan perbedaan kepenganutan, Adeng Muchtar
Ghazali (2005:22) menyatakan paling tidak ada tiga pendekatan yang sering
digunakan: Pendekatan teologi, politis, dan sosial kultural.
Pendekatan teologis tiada lain adalah mengkaji hubungan antaragama
berdasarkan sudut pandang ajaran agamanya masing-masing, yaitu bagaimana
doktrin-doktrin agama ”menyikapi” dan ”berbicara” tentang agamanya dan agama
orang lain. Adapun pendekatan teoritis melalui analisis politik dilihat dalam
kontek ”kerukunan” , dengan maksud untuk melihat bagaimana masing-masing
(penganut) agama memelihara ketertiban, kerukunan dan stabilitas suatu
masyarakat yang multiagama. Adapun pendekatan kultur atau budaya adalah untuk
melihat dan memahami karakteristik suatu masyarakat yang lebih menitikberatkan
pada aspek tradisi yang mapan dan berkembang, yaitu agama dihormati sebagai
sesuatu yang luhur dan sakral yang dimiliki oleh setiap manusia atau
masyarakat.
2.
Empat Model
Pedekatan Memahami Islam
Secara normatif telah mensejarah beberapa pendekatan
memahami Islam yang terus berkembang hingga saat ini, seperti yang diungkap
dalam (http://hefnizeinstain.blogspot.com) antara lain :
a.
Metode Tekstual (Al Manhaj al Naqli), Yakni metode yang menjadikan teks-teks wahyu sebagai
pegangan dalam memahami Islam, menurutnya Al-qur’an dan hadits telah komplit
dan sempurna menyediakan pelbagai konsep dan jawaban terhadap segala persoalan
keagamaan yang dihadapi manusia sejak masa Rasululloh hingga akhir zaman.
Pendekatan tekstual adalah suatu model pemahaman yang berpegang pada formal
teks, berpedoman pada tradisi yang terbentuk dimasa silam dan mengikatkannya
secara ketat serta menganggap ajaran Islam yang mereka yakini sebagai suatu
kebenaran mutlak yang tidak perlu dirubah lagi karena secara otoritatif telah
dirumuskan oleh para ulama’ terdahulu secara final dan tuntas, karena itu dalam
merespon tiap perubahan, model pendekatan ini terkesan hati-hati (untuk tidak
mengatakan lamban) dan selalu menempatkan konsep “Almuhafadatu ala al
qodim as soleh wal ahdu bil jadidil aslah”, maka pemahaman ini juga disebut sebagai
pendekatan fundamental. Senada dengan pemahaman diatas Abudin Nata (2011:500)
menyebut pemahaman model ini sebagai Islam Literasis.
Terdapat beberapa ciri yang melekat erat pada model ini, antara lain : pertama,
memagang kokoh agama dalam bentuk harfiah
(literal) dan bulat, mereka menolak hermeneutika dan upaya interprestasi
kritis terhadap teks suci, karena akal dianggap tidak mampu memberikan interprestasi
yang tepat terhadap teks, kedua, prinsip utamanya adalah oppositionalism (paham perlawanan) yang
mengambil bentuk perlawanan radikal terhadap berbagai ancaman yang dipandang
membahayakan eksistensi agamanya. Ketiga, Perkembangan masyarakat dalam
sejarah dipandang sebagai “as it should be” dan bukan “as it is”,
karena itu bagi mereka masyarakat yang harus menyesuaikan diri dengan teks suci
dan bukan sebaliknya.
b.
Metode Rasional Kontekstual (Al Manhaj al Aqli), Yakni metode
yang menjadikan rasio atau akal manusia sebagai alat yang paling dominan dalam memperoleh
pengetahuan dan pemahaman atas pelbagai ajaran Islam, karena itu seluruh
teks-teks wahyu harus dibedah secara kontekstual, kritis, logis dan rasional.
Model kontekstualis menurut Harun Nasution
dapat diartikan sebagai sebuah manhaj fikir yang memahami agama Islam
sebagai organisme yang hidup dan berkembang sesuai dengan denyut nadi
perkembangan manusia, karena itu didalam menafsirkan teks-teks suci mereka
menggunakan penafsiran yang kontekstual, substansial dan non literal.
Karakteristik yang paling nampak dalam
model ini meliputi: Penekanan pada semangat religio etik, bukan
pada makna literal sebuah teks, manhaj yang dikembangkan mereka adalah
penafsiran Islam berdasarkan semangat dan spirit teks, memahami latar teks
secara kontekstual, substansial dan non literal, menurut mereka hanya dengan
model tersebut, Islam akan hidup survive dan berkembang secara kreatif
menjadi bagian dari “peradaban manusia” universal. Karena itu bagi mereka
pintu ijtihad mesti dibuka pada semua bidang sehingga memungkinkan Islam mampu
menjawab persoalan kemanusiaan yang terus berubah, penutupan pintu ijtihad
(baik secara terbatas atau secara keseluruhan) adalah ancaman atas Islam itu
sendiri, sebab dengan demikian Islam akan mengalami pembusukan.
c.
Metode Dialektika (Al Manhaj al Jadili), Yakni metode yang menjadikan debat argumentatif dan uji
shoheh sebagai alat untuk menyingkap berbagai dimensi ajaran Islam yang
masih tersembunyi sekaligus membersihkan ajaran Islam dari unsur-unsur luar
yang mencemarinya. Model ini menganggap bahwa setiap bentuk penafsiran
atas teks adalah “kegiatan manusiawi” yang terkooptasi oleh konteks tertentu,
karena itu ia tidak terbebas dari probabilitas salah selain probabilitas benar,
dan setiap bentuk penafsiran merupakan kebutuhan seorang penafsir disuatu masa
dan ruang yang terus berubah dan berbeda. Bagi mereka tafsir atas teks yang
dilakukan banyak pihak adalah bersifat relatif, terbuka dan plural,
sehingga diantara mereka boleh saling menyangkal dan akhirnya kebenaran ditentukan
secara induktif melalui adu dan uji pendapat.
Bagi pengguna model ini, yang diusahakan
adalah terwujudnya ruang-ruang dialog yang terbuka, bebas dan jujur, sebab
hanya dengan tersedianya ruang yang terbuka buat dialog, perkembangan
pemikiran Islam akan berjalan secara sehat. Maka kebenaran pemahaman Islam
adalah ditentukan oleh valid tidaknya argumentasi atau hujjah yang
mendasarinya. Atau lebih kita kenal dengan Islam Tranformatif (Nata.
2011: 513).
d.
Metode Gnosis (Al Manhaj Al-Dzauqi), Yakni metode
yang biasa digunakan kaum sufi untuk memperoleh pengetahuan (ma’rifah) yang langsung dari Allah
melalui riyadhah, daya intuitif dan
cinta. Pengetahuan dan pemahaman Islam yang dicari oleh kelompok ini adalah
pengetahuan dalam bentuk kesadaran dan kesaksian bathin, bila filosuf mencari
ilmu al yaqin (pengetahuan berdasarkan argumentasi dan pembuktian nyata), maka
seorang sufi mencari ayn al yaqin
(pengetahuan berdasarkan kesaksian nyata). Mereka menggunakan qalb, tashfiyah, tahdzib dan takmil an nas guna menggerakkan seluruh
wujudnya agar sampai pada substansi, esensi dan hakekat keberadaan. Dan
kesempurnaan fitroh itu terletak pada wushul (sampai pada tujuan).
Manhaj dzauq adalah sebuah
elemen penting dalam Islam, bagi sebagian orang bentuk bentuknya kerapkali
dianggap tak lazim dan ide-idenya acapkali dianggap sulit dicerna, tetapi bagi
kaum sufi sendiri, model ini dipilih sebagai jalan menerobos masuk ke sisi
terdalam dari religiusitas Islam, sebab mereka kurang puas dengan bentuk
penghayatan agama yang bersifat formalistik. Cinta merupakan karakter
utama yang mencirikan manhaj ini.
Bagi mereka cinta karena Allah
merupakan ikatan iman yang paling kokoh, cinta merupakan jembatan yang
dibentangkan Allah kepada manusia, maka tidak ada manhaj yang lebih mempercepat
wushul ila Allah kecuali manhaj cinta, dengan cinta seseorang dapat
menurunkan rahmat Allah yang tidak dapat diturunkan dengan manhaj lain. Allah
tidak dapat dijangkau dengan pandangan mata kepala, sebagaimana firmanNya “la
tudrikuhul absaar”, tetapi sangat mungkin dijangkau dengan mata hati
dan cinta.
F. PENUTUP
Dari uraian
diatas maka dapat disimpulkan,
Setiap ajaran agama memiliki nilai-nilai universal karena tidak ada satu
agama pun yang mengajarkan dan memerintahkan pemeluknya berbuat jahat, tidak
berlaku adil, bermusuhan, dan lain-lain. Oleh karena itu dari nilai
universalitas ini, tiap-tiap pemeluk agama memiliki keinginan bersama untuk
hidup berdampingan tanpa permusuhan, juga memiliki misi yang sama untuk
membangun peradaban dunia atas dasar nilai-nilai agama yang universal itu. Sedangkan wacana pembaruan
Islam bukanlah sesuatu yang baru dan sama sekali bukanlah agenda yang
diciptakan oleh barat tetapi sudah dimulai oleh ulama pembaharu pada abad ke-19
agenda utama Reformasi Islam adalah membebaskan kaum Muslim dari pemahaman
agama yang sempit dan kaku sehingga Islam bisa diterapkan hingga akhir zaman.
Hal ini bisa dilakukan jika pemahaman terhadap agamanya sendiri dan pemahaman
terhadap agama lain dimatangkan dan dihilangkannya sikap absolutisme, eksklusivisme, fanatisme, ekstrimisme dan agresivisme,
karena hal-hal tersebut merupakan suatu “penyakit”.
Jadi musuh bersama umat beragama saat ini
adalah otoritarianisme penafsiran terhadap ajaran-ajaran agama. Lembaga-lembaga
agama yang otoriter, yang merasa benar sendiri, adalah musuh bagi kebebasan
beragama.
Pengelompokkan Islam normatif dan Islam historis menurut
Nasr Hamid Abu Zaid mengelompokkan menjadi tiga wilayah yaitu: Pertama, wilayah teks asli Islam (the
original text of Islam), yaitu Al-qur’an dan sunnah nabi Muhammad yang
otentik. Kedua, pemikiran Islam merupakan ragam menafsirkan terhadap
teks asli Islam (Al-qur’an dan sunnah nabi Muhammad SAW), Ketiga, praktek yang dilakukan kaum muslim. Keterkaitan normativitas dan
historisitas dalam studi keIslaman. hanya dapat dibangun secara sistematik
dengan menggunakan model gerakan tiga pendekatan secara sirkuler, dimana
masing-masing dimensi dapat berinteraksi, berinterkomunikasi satu dengan
lainnya.
Memahami
hakekat agama sesungguhnya adalah sangat penting dalam kehidupan, terutama
dalam hal pemahaman. Ada empat model dalam melakukan
pendekatan memahami Islam
yaitu : Al Manhaj al Naqli (metode tekstual), Al Manhaj al Aqli (metode rasional kontekstual), Al Manhaj al Jadili (metode
dialektika), Al Manhaj alDzauqi (metode
gnosis). Sedang utuk memahami keberagaman dalam agama dapat digunakan tiga
pendekatan yaitu: Pendekatan teologi, politis, dan sosial kultural.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah.
Amin, Islam Studies di Perguruan Tinggi,
Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2010.
Aden
Wijdan SZ.dkk.,Pemikiran dan Peradaban Islam (Yogyakarta: Safiria
Insania Press, 2007).
Azizi’
Qodri, Elektisisme Hukum Nasional : Kompetensi antara Hukum Islam dan Hukum
Umum, Yogyakarta : Gama Media Offset, 2002
Ghazali. Adeng Muchtar, Ilmu Studi Agama, Pustaka Setia, Bandung, 2005.
Hidayat, Komarudin, Agama Masa Depan, Prespektif Filsafat
Parennial. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003.
Mudzar.
Atho, Pendekatan Studi Islam dalam teori dan praktek, Yogyakarta:
pustaka Pelajar, 1998.
Nasution.
Khoiruddin, Pengantar Studi Islam,
cet. Ke 1, Yogyakarta: Academia + Tazzafa, 2009.
Nata. Abbudin, Studi
Islam Komprehensif. Jakarta. Kencana 2011.
Syukur.
Amin, Pengantar Studi Islam, cet.
Ke-5, Semarang : CV. Bima Sejati, 2006.
Zaid.
Abu Nasr, The Textuality of The Koran, Islam and Europe in Past and
Present, by W. R. Hugenkoltz and K. Van Vliet-leigh (eds.), Wassenaar :
NIAS, 1997.
http://www.assyaukanie.com/articles/pentingnya-pembaruan-islam)
Dikutip dan diselaraskan dari tulisan Luthfi Assyaukanie, Source: Jawa Pos, 27
February 2006, dalam diakses tanggal 08 September 2014.
http://msitadriskimia.blogspot.com/2010/09/normativitas-dan-historisitas-dalam.html#sthash.oPdc9PZs.dpuf. Diakses tanggal 7
September 2014
http://hefnizeinstain.blogspot.com/2012/11/berbagai-pendekatan-memahami-islam.html. diakses tanggal 8 semtember 2014
EmoticonEmoticon